Belenggu Xavier

67 11 43
                                    

Chaiden berjalan dengan gagah menuju rumah kepala desa. Kehadirannya dengan sang ibunda sudah ditunggu para warga untuk menyerahkan jantung Xavier pada mereka. Selama perjalanan, Chaiden tak berhenti memainkan jemarinya---bocah tujuh tahun itu sangat gelisah. Ia takut kalau nanti para warga berhasil mengetahui bahwa yang ada di dalam wadah kayu ini adalah jantung rusa, bukan milik Xavier.

Chaiden menghela napas panjang saat mereka sudah tiba di depan pintu rumah kepala desa. Casey yang mengetahui bahwa sang putra tengah panik segera mengusap bahu putra sulungnya itu. "Kamu tenang saja. Semuanya akan berjalan dengan lancar."

Chaiden tersenyum mendengar suara Casey yang menenangkannya. Rasa paniknya seolah memudar begitu saja seiring tangan lembut Casey bermain di kepala dan punggungnya.

Tak berselang lama dari itu, kepala desa pun muncul dari balik pintu bersama para warga yang turut hadir menunggu kedatangannya di rumah kepala desa.

"Bagaimana? Apa kalian sudah membawa jantung Xavier pada kami?" tanya Andrew yang sudah menunggu-nunggu hari ini agar ia bisa memba-kar jantung bocah terkutuk itu.

Chaiden mengangguk, lalu maju menghampiri sang kepala desa---dengan para warga di belakangnya. Chaiden menyerahkan sebuah wadah kayu yang sudah ia isi jantung rusa tersebut pada sang kepala desa.

"Kami sekeluarga sudah menepati janji kami untuk membu-nuh dan membawa jantung Xavier pada kalian. Terimalah," ucap Chaiden dengan rasa hormat, walau tak dipungkiri saat ini perasaannya benar-benar campur aduk. Antara senang dan panik.

Senang karena akhirnya Xavier tidak terbu-nuh, dan panik jika mereka mengetahui bahwa yang ia berikan bukanlah jantung Xavier melainkan jantung seekor rusa hasil buruannya.

Andrew membuka tutup wadah kayu tersebut, matanya menyipit dengan tatapan penuh intimidasi ke arah jantung yang tersimpan baik di dalam wadah kayu. Beberapa warga pun turut melihatnya.

Chaiden menoleh sebentar ke arah Casey, sementara Casey hanya mengangguk untuk meyakinkan putranya tersebut. Sorotan mata Casey seolah berbicara: Jangan terlihat panik. Kamu harus yakin demi keselamatan Adikmu.

"Apa benar ini jantung Xavier? Kamu bisa menjamin?" selidik Andrew yang masih kurang percaya.

Chaiden mengangguk mantap, "kalau kalian tidak percaya, silahkan datang ke rumahku. Kalian bisa mengobrak-abrik rumahku sampai kalian menemukan Xavier. Paling, yang bisa kalian temukan hanya jasad Xavier." Chaiden terkekeh di akhir kalimatnya.

"Baik, kami percaya. Namun, kalau sampai ada kejadian seperti ini lagi, kami akan langsung membu-nuh Xavier dengan tangan kamu sendiri!" ancam Andrew yang langsung disoraki oleh para warga.

Mereka percaya begitu saja?!

"Tenang saja, aku bisa menjamin tidak akan ada lagi warga yang mening-gal secara misterius di desa ini!" balas Chaiden mantap.

_-00-_

Lain dari itu, bocah laki-laki berumur lima tahun yang kini terkurung di salah satu penjara bawah tanah rumahnya amat merasakan kesepian yang begitu mendalam. Gelap dan sunyi, itu yang Xavier rasakan selama berada di sini sejak dua hari yang lalu. Xavier mengucek kedua matanya, kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah.

Sepi, tak ada orang. Tak ada suara hangat Casey yang membangunkannya. Tak ada sinar matahari, hanya ada cahaya redup dari api. Xavier merindukan suara hangat Casey yang membangunkannya ketiga pagi hari untuk bersekolah. Ya, bersekolah dengan para anak desa di pondok yang diajari oleh sang guru. Xavier rindu belajar berperang dan berkuda, ia rindu temannya. Bahkan, Xavier rindu dengan bawelan Chaiden yang sering menceramahinya.

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang