13. Mimpi lagi (?)

50 8 41
                                    

Sebuah ranjang mewah dengan ukiran emas tampak megah di dalam ruangan yang cukup besar. Nuansa mewah di zaman kuno sepertinya sangat cocok untuk menggambarkan ruangan ini. Tirai transparan nan gemerlap menutup sebagian ranjang, menyembunyikan sesosok laki-laki yang tengah tidur di dalamnya. Hiasan permata dan beberapa senjata perang terpampang jelas di sudut ruangan, jendela pun dibiarkan terbuka begitu saja.

Cahaya matahari menerpa wajah, menyatu dengan warna kulit dan baju yang ia kenakan. Bulu mata lentiknya bergerak-gerak peka dengan sentuhan cahaya matahari. Angin kencang dari luar menambah semangat untuk bangun melandai memainkan rambut indahnya.

Kelopak mata itu terbuka, menyambut dunia dengan netra birunya. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama sampai ia menyadari bahwa ruangan ini bukanlah tempat asalnya.

"Aku di mana?!" Xavier panik bukan kepalang, ia bangkit dari posisi tidurnya.

Netra birunya bergerak mengintimidasi ruangan yang saat ini ia tempati. Suasananya sangat berbeda dengan kurungan bawah tanah. Ruangan ini begitu nyaman, tidak seperti tempat asalnya yang selalu menghantam mental dan pikiran.

Xavier meraba pakaian yang ia kenakan, kemudian meraba kakinya yang sudah tidak dirantai. "Baju siapa yang aku kenakan ini?!"

Xavier berderap turun dari ranjang, kemudian berlari ke kaca yang terletak di sudut ruangan. Ia menatap bayangannya sendiri. Tubuhnya benar-benar bersih, pakaian yang ia kenakan seperti pakaian para pangeran kerajaan di zaman abad pertengahan. Luka di sekujur tubuhnya pun mendadak lenyap tak berbekas. Wajahnya masih sama, hanya saja tatanan rambutnya sangat rapi---klimis maksudnya. Xavier tak menyukai model rambutnya sekarang.

"Model rambutku sangat kuno!" Xavier mengacak rambutnya, kemudian menyisir dengan jemari sampai keinginannya terwujud. Kini, rambutnya sudah berubah seperti semula.

"Kak Chaiden pasti akan menertawakanku jika dia melihat model rambutku yang tadi."

Mata Xavier beralih pada hiasan permata dan patung kuda yang tertata rapi di atas meja. Permata hijau berlapis kayu menarik perhatian Xavier, tangannya merambat naik untuk menyentuh benda indah itu.

"Indah sekali!" Xavier memekik kagum, tangannya mengelus permata itu dengan lembut.

Suara ketukan pintu mengambil alih perhatian Xavier. Ia menoleh ke arah pintu yang diketuk. "Masuk saja."

Setelah memberikan izin pada pelaku yang mengetuk pintu, pintu ruangan itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi dan tiara di kepala muncul dari celah pintu yang dibuka lebar. Di belakangnya terdapat beberapa wanita---tampak seperti dayang kerajaan.

Wanita anggun dengan mahkota itu berjalan mendekat, lalu mengelus pundak Xavier dengan lembut. "Kau sudah siap untuk penobatanmu sebagai putra mahkota?"

Xavier semakin tak mengerti. Siapa wanita di depannya ini?

"Bukankah penobatan hanya untuk raja dan ratu?" Xavier bertanya, ekspresinya sulit untuk dijelaskan.

Wanita itu tersenyum anggun. "Kau ini kenapa, putraku? Bukankah kau sudah tahu peraturan di kerajaan kita, bahwa siapapun yang menjadi putra mahkota harus melakukan penobatan dan pemakaian mahkota agar semua orang tahu. Hal itu juga bertujuan agar putra mahkota terlindungi dari bahaya yang mengancam keselamatannya."

"Memangnya, mengapa aku yang harus menjadi putra mahkota? Apakah aku anak raja?"

Pertanyaan Xavier kali ini mengundang raut wajah cemas dari sang ratu. Sang ratu menoleh ke belakang, menatap para dayang yang sama bingungnya.

"Apakah kepala pangeran terbentur benda keras saat perang kemarin?" Sang ratu bertanya pada dayang-dayangnya.

Salah satu dayang menggeleng pelan, "tidak Yang Mulia Ratu. Sang Pangeran hanya mengalami luka tus-uk di bahu depannya."

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang