Bagian 10 [18+]

3.3K 137 2
                                    

Terpantau jalan lalulintas terlihat renggang dan sepi, seperti sebelum menikah ketika mengantarkannya ke kost di Depok, keheningan juga terasa saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terpantau jalan lalulintas terlihat renggang dan sepi, seperti sebelum menikah ketika mengantarkannya ke kost di Depok, keheningan juga terasa saat ini. Hanya alunan lagu yang bersumber dari Head unit pada mobil sebagai pengiring.

Memasuki kawasan apartemen dan memarkir mobil, suara Aira baru terdengar. "Ko disini? Inikan bukan lokasi kost aku, Mas?"

Sembari membuka Safety belt, aku menengok kearahnya dengan tersenyum, "Kost kamu kan khusus perempuan, mana mungkin Mas tinggal disana."

Setelah sesi menangis kemarin, aku memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga, hitung-hitung mandiri. Sebenarnya bisa saja langsung membeli rumah, hanya membutuhkan proses dan juga aku sedikit keberatan jika tinggal selamanya di Depok. Selain soal pekerjaan, aku juga berencana memboyong Aira ke Bandung, rasanya kota itu tepat untuk keluarga kecilku nanti, tapi karena saat ini Aira masih kuliah, jadi untuk sementara tinggal di apartemen yang lokasinya dekat dengan kampus Aira saja.

"Maksudnya kita tinggal bersama?" tanya istriku.

"Tentu, sayang. Kitakan suami istri." Ucapku, lagi-lagi dengan senyuman. Entah mengapa dengan status baru ini lebih mudah mengekspresikan diri, mengucapkan kata kesayangan, senyuman dan sentuhan lebih sering dengan tujuan membuat Aira mengerti bahwa pernikahan ini tidak main-main, serius dengan rasa yang sudah ada sejak dulu.

"Tapi kita belum izin sama tante Kasih, Mas. Pekerjaan Mas juga, jaraknya lumayan jauh dari kantor."

"Mamah, sayang. Nanti marah loh kalau denger kamu masih nyebut tante," tanganku tak bisa menahan untuk mengelus pipinya, chubby dan menggemaskan. "Soal itu Mas sudah bicara dan kalau pekerjaan Mas bisa WFH atau ngurus cabang yang di Bogor, sama aja."

"Tan-maksudku Mamah. Aku belum izin langsung, nanti..." ucapnya tidak dilanjutkan.

Sepertinya istri cantikku ini masih memikirkan Mamah dan yang lain. Padahal aku sudah menjelaskan, kalau amarah mereka hanya tertuju padaku, Aira di terima-terima saja. Bahkan sebelum pergi ke Depok, sempet-sempetnya Mamah dan Elsa mengomel untuk tidak melakukan hubungan suami istri jika bukan Aira langsung yang minta, katanya kepindahanku adalah alasan buat melakukan itu tanpa di awasi. Mamah dan Elsa benar-benra protektif terhadap Aira. Seakan permintaannya yang dulu minta cucu tidak pernah ada.

"Mas udah bilangkan, jangan berpikiran yang macam-macam, keluarga Mas nerima kamu, amarah mereka hanya untuk Mas karena menikahi kamu diam-diam." Ujarku pelan.

"Tapi Echa ga bicara, bahkan selalu menghindar, kalau ada aku dia kaya kesel."

"Bukan karena ada kamunya, tapi setiap ada Mas disamping kamu. Echa ga suka pasangan kamu adalah Mas, tua katanya ga cocok." Sebenarnya aku tidak setuju soal kata tua, tapi mau bagaimana lagi Aira sedang overthingking sebisa mungkin aku harus membuatnya tidak seperti itu lagi.

Aku langsung membawa Aira masuk ke apartemen menggunakan lift yang terkoneksi langsung dengan Basement menuju lantai 5. Sengaja aku meraih tangan Aira untuk digenggam, untungnya Aira tidak menolak.

Mengejar Cinta IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang