Bagian 12 [21+]

3.9K 137 7
                                    

Sekembalinya ke apartemen, aku langsung masuk ke kamar mandi yang ada dilantai 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekembalinya ke apartemen, aku langsung masuk ke kamar mandi yang ada dilantai 2. Tadinya mau menanyakan siapa perempuan tadi pada Aira, tapi entah mengapa perutku tiba-tiba ga enak, rasanya seperti ada yang mendesak keluar. Tak tahan, aku langsung mengeluarkannya setelah sampai di rumah.

"Uoeekkk...Uoeeekk...mphhh"

Aku memejamkan mata, rasanya eneg banget. Padahal tidak ada yang keluar sama sekali selain cairan bening dari saliviaku saja.

"Sayang!" panggilku dengan lemah pada Aira. Mencoba meminta bantuan, perasaan tadi biasa saja, ini tiba-tiba lemas, bahkan untuk berdiri rasanya tidak kuat.

"Uoeekkahh...Uoeekkkk...sayangh!" panggilku untuk kedua kalinya.

Lagi-lagi aku muntah, tapi tidak ada yang keluar, aku sudah terduduk di atas ubin kamar mandi, masa bodo kotor atau basah, yang jelas tubuhku lemas banget.

"Ya ampun, Mas, kenapa duduk disitu?"

"Sayang, Mas lemes banget!" aduku pada Aira.

Aira mendekat, berjongkok sebelum membantuku berdiri. Aira kesusahan membawa tubuhku, ya iyalah! Tubuh Aira sangat mungil sedangkan tubuhku besar bak kingkong, jelas dirinya kesusahan. Macam mana diriku ini. Walaupun lemas, aku berusaha untuk menumpu berat badanku sendiri.

Berkat bantuan Aira akhirnya bisa berbaring di ranjang juga, kakiku masih menjuntai ke bawah, dengan kepayahan Aira membenarkannya. Aira mengusap rambut yang menutupi wajah, menseka keringat yang menyucur dengan tangannya yang mungil, mengambil gelas yang ada di meja samping kasur.

"Mas, minum dulu." Aku meneguk air yang diberikan Aira, baru seteguk, rasa mual itu kembali.

Badanku yang lemas tadi seketika mendapatkan energi untuk bangkit, dengan buru-buru lari ke arah kamar mandi, dan memutantahkan isi perut yang terus mendesak. Sayangnya hanya cairan putih saja yang keluar.

Entah sejak kapan, Aira sudah ada dibelakang tubuhku dengan mengurut pelan tengkukku. Hal itu membuat rasa mual perlahan menghilang.

Kembali ke kamar, aku duduk dengan menyandar ke kepala ranjang, memejamkan mata sebentar. Aku merasakan hangat di area tengkuk, leher, dan perut. Ternyata Aira membalurkan minyak angin tanpa aku sadar. Ketika aku membuka mata, Aira menghentikan kegiatannya yang sedang memijat pelan tengkukku.

"Mas, kita ke dokter yuk, kayanya ini gara-gara makan bakso tadi." Aku mengernyitkan alis sebelah.

"Apa hubungannya?" tanyaku lirih.

"Kata Echa, Mas ga bisa makan sembarangan. Mungkin ini juga salah satunya."

Aku menarik Aira untuk duduk di atas pangkuanku, karena tidak kuat, "Sayang duduk di pangkuan, Mas." Akhirnya meminta saja.

"Mas lagi sakit, ngapain aku duduk disitu," tolak Aira.

Cemberut.

Aku sering melakukan Skinship dengan Aira, lebih tepatnya aku yang memulai duluan. Aira juga sering duduk dipangkuan atas perintahku, biasanya di paksa dulu baru mau, tapi entah mengapa saat ini aku ingin dengan sukarela dia melakukannya. Aku tidak mencoba seperti biasanya, kepalaku ku menoleh kearah kanan, ceritanya merajuk. Sungguh ini pertama kalinya aku merajuk, dan aku juga tidak tahu mengapa harus bertingkah seperti anak kecil.

"Mas- Mas kan lagi sakit, aku juga berat." Diam

"Mas?" aku tidak menyaut panggilan Aira, hanya berdiam dengan wajah cemberut.

Beberapa menit kemudian aku merasakan kasur bergerak dan merasakan beban di kedua pahaku, senyuman lantas terbit di bibir, puas dengan apa yang istriku lakukan, melingkarkan pinggang Aira dengan kedua tanganku.

"Kaya anak kecil!" cicit Aira.

Aku hanya tersenyum jenaka. Masa bodo Aira mau mengatainya apa, "bikin anak yuk!" ucapku dengan maksud menggoda. Tangan mungil istriku menggeplak dada dengan mata melotot, hal itu membuatku tambah tertawa ngakak.

"Udah lama juga, Yang. Mas kangen kamu jadinya," ucapku diakhiri kekehan.

"Mas tadi lemes banget loh, sampai aku kesulitan bawa Mas ke sini. Memangnya ga tambah lemes kalau begituan?"

"Hahaha...kamu-nya aja yang diatas, biar Mas di bawah, menikmati!" Aira langsung menghadiahi perutku dengan cubitan kecil, tidak sakit, tapi itu membuatku kegelian. Ketawaku juga makin pecah dengan apa yang Aira lakukan.

"Omes!"

"Kalau hubungan pernikahan engga mesum, sayang. Itu hal wajar dan harus dibicarakan. Banyak loh pasangan yang bertengkar masalah ranjang, biar sama-sama puas-" belum selesai, Aira langsung menyela ucapanku dengan kalimat yang ambigu,

"Aku engga puas tuh!"

Brugghh

Entah kekuatan dari mana, aku sudah membalikan posisi menjadi Aira yang dibawah kungkungan, berbaring dengan menghimpit tubuh Aira tanpa ruang sedikitpun. Wajah kami pun begitu dekat, hembusan nafas juga sangat terrasa.

"Kamu ga puas dengan permainan, Mas?" gairahku sudah terpancing kala Aira mengatakan engga puas.

Tanpa menunggu jawaban Aira, aku membungkam bibirnya dengan ciuman. Tangan Aira mencoba mendorong dengan apa yang kulakukan, oh tentu saja tidak ku biarkan. Istriku, kamu yang mancing duluan.

Aku menyatukan kedua tanganya diatas kepala, tangan kananku yang bebas mencoba membuka kaitan kancing pakaian Aira, setelah berhasil, ciumanku beralih ke arah leher. Membubuhkan beberapa tanda kepemilikan disana.

"Emmhh...."

"Ga puas?" tanyaku setelah melepaskan cumbuan di lehernya, "malam ini kamu ga akan bisa lepas, sayang." Setelahnya aku kembali mendaratkan kembali pada bibir yang membuatku candu, aku seakan lupa bahwasannya tadi merasa tidak baik-baik saja. Lemas tadi seolah tidak pernah terjadi. Percintaan kali ini sedikit kasar dan lama.

"Enghhh...Mashh ampun!"

"Ampun? Bukannya kamu ga puas, Mas sedang memuaskan kamu." Tuturku diakhiri geraman nikmat. Walaupun sedikit kasar, aku tetap memperhatikan kenyamanan Aira. Jangan sampai karena nafsu melukai istri yang amat aku cintai ini. Wanita yang selalu membuat diriku jatuh cinta setiap hari, merubah warna hidupku yang abu-abu menjadi lebih berwarna, menjadi harapan terbesar dalam hidup untuk selalu bersama dengan penuh kasih sayang.

Saat ini mungkin Aira belum bisa mencintaiku, tapi aku berjanji, rasa itu akan hadir diantara kami, khususnya Aira.

"Arghh...Aira, Mas mencintaimu!" ucapku diakhir pelepasan.

Tubuh Aira bergetar, keringat membasahi kami berdua. Ku seka wajahnya yang penuh keringat dengan lembut, mendaratkan beberapa kecupan sebagai penutup sesi percintaan. Menggulingkan badan kesisi tubuh Aira dan memeluknya dari belakang. Tanganku mengusap-usap perutnya yang rata? Eh bentar...sepertinya perut Aira lebih buncit dari terakhir kali aku menyentuhnya.

Aku pernah mendengar, jika seseorang mengalami kenaikan berat badan setelah menikah, itu tandannya bahagia dengan pasangannya. Apakah Aira bahagia menikah denganku?

Jangan lupa vote dan komen teman-teman!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa vote dan komen teman-teman!

31 Oktober 2023

Mengejar Cinta IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang