Disisi lain, Zarcha mengunjungi pangeran pertama dikamarnya lalu melihat sahabat baiknya itu murung dan tidak berbicara sepatah katapun. Dia melemparkan dirinya keatas tempat tidur milik sang pangeran, memperhatikannya lama lalu menghela napas sembari memalingkan wajahnya kearah lain. Putra kedua Count Marchilles itu sudah bisa menebak apa yang ada dipikirannya. Mereka telah lama bersahabat. Zarcha mengenalnya lebih baik daripada siapapun, termasuk orang tuanya sendiri.
Seolah terlihat baik-baik saja tetapi sahabatnya itu telah lama menderita. Tidak ada satupun yang tau. Selama ini, pangeran telah hidup dibawah tekanan dari permaisuri. Sejak kecil, dia dilatih sedemikian rupa bahkan cara tersenyum pun tak luput dari aturan sang ibu yang mendambakannya menjadi putra mahkota meski pangeran sendiri tidak pernah menginginkan posisi itu. Dia tidak bisa memberontak karena kasih sayangnya kepada sang ibu terlalu besar. Akan tetapi, pangeran menyadari bahwa obsesi sang ibu akan tahta kekaisaran semakin lama semakin tidak terkontrol.
Permaisuri bahkan tidak ragu menghabisi seseorang yang dianggap dapat membahayakan posisi putra mahkota jatuh ketangan pangeran. Hal itu membuatnya tersadar akan tujuan sebenarnya dari sang permaisuri. Pangeran berusaha keras menghentikannya, mencoba segala cara bahkan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hati nuraninya. Semata-mata agar perhatian permaisuri hanya tertuju kepadanya, agar sang ibu berhenti membunuh tapi semua itu tidaklah cukup. Pangeran malah jatuh kedalam perangkap. Bak seekor burung didalam sangkar. Permaisuri mengendalikan hidupnya secara utuh.
Zarcha sontak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tidak ingin membiarkan sahabat baiknya menghadapi masalah sendirian. Dia langsung menarik tangannya.
"Ayo ikut denganku!"
"Kemana?" tanya pangeran.
"Sudah. Ikut sajalah!" Mereka keluar secara diam-diam.
Zarcha membawa pangeran menyelinap keluar istana melalui jalan tersembunyi didekat reruntuhan istana lama.
"Aku tidak tau ada jalan seperti ini," ungkap pangeran.
Zarcha hanya terkekeh. "Kau lebih banyak menghabiskan waktu diistana," ucapnya.
Setelah berhasil keluar dari sana. Zarcha membawanya pergi kedaerah pertokoan. Mereka memasuki sebuah bar kelas menengah. Pangeran pertama Agares sempat menolak tetapi dia berhasil meyakinkannya.
"Bar ini adalah tempat langgananku," ucapnya sembari tersenyum bangga. Mereka memesan sebotol anggur dan beberapa piring kudapan lalu memilih salah satu ruangan yang telah disediakan.
"Sepertinya penyamaranmu berhasil...tidak ada satupun yang mengenalimu," ucapnya sembari menyengir.
Beberapa saat kemudian, terdengar keributan dari luar toko. Zarcha pergi memeriksa. Alangkah terkejutnya dia melihat sang kakak, Charlotte sedang menghajar salah satu pria mabuk yang berusaha menggodanya. Pria berusia 22 tahun itu sontak menelan ludahnya lalu kembali masuk dengan ekspresi yang gugup.
"Ada apa?"
Zarcha hanya menunjuk keluar tanpa bicara sepatah katapun. Penasaran dengan apa yang membuat sahabatnya begitu ketakutan. Pangeran Agares keluar untuk memeriksa.
Sial baginya. Charlotte sudah berada didalam bar lalu tanpa sengaja tatapan keduanya saling bertemu. Pangeran Agares langsung memalingkan wajahnya kearah lain lalu kembali masuk, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa."Kenapa kau begitu takut dengan kakakmu?" tanyanya merasa heran.
Pasalnya, Zarcha adalah orang yang cukup 'berisik'. Dia menyukai kebebasan lebih dari apapun. Seorang pria yang tidak mengenal takut malah bersembunyi seperti tikus hanya karena kakak perempuannya. Tentu saja, hal itu menjadi pertanyaan tersendiri dibenak sang pangeran.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE THRONE RESERVED [ON GOING]
Fantasía⚠️ FEMALE DOM | MALE SUB Mereka bilang 'Orang pendiam adalah yang paling berbahaya'. Itu benar. Reona Vonn Ashtarte yang lemah berubah menjadi lebih kuat dari siapapun. Demi menguak misteri kematian adik tercintanya, Livera Ashtarte. Dia menghalalk...