Chapter 52. Kill Their Ideology!

57 3 0
                                    

Melidas sedang mengajar tuan putri Serena. Pemuda itu tengah fokus menjelaskan materi dari buku yang ada ditangannya. Sang putri juga tampak menyimak penjelasannya dengan baik. Beberapa saat kemudian setelah berbicara panjang lebar, "Apa anda mengerti, Tuan putri?"

Tidak ada jawaban.
Melidas menoleh lalu mendapati muridnya sedang melamun. Pemuda itu hanya menggelengkan kepalanya. Tuan Putri Serena terlihat lucu. Dia bermaksud menjahilinya. Melidas melakukan sihir kecil, membuat seolah-olah angin kencang menerpa wajahnya. Sang tuan putri sontak terperanjat.

"Melamun ketika guru sedang mengajar itu tidak baik." Melidas tersenyum puas setelah berhasil menggodanya.

"Aku tidak melamun. Aku sedang memikirkan sesuatu. Aku sangat yakin ada yang salah," jawab sang tuan putri.

"Benarkah? Memangnya apa yang salah?"

Tuan Putri Serena sontak tersadar. "Tidak ada. Tidak ada yang salah. Ishhh...kenapa kau sangat ingin tau?" Dia menggembungkan kedua pipinya dengan kesal. Melidas langsung tertawa terbahak-bahak.

"Saya ingin tau, apa yang dipikirkan oleh tuan putri sampai melamun seperti itu?"

"Sudah kubilang, aku tidak memikirkan apapun. Aku juga tidak melamun," ketusnya.

"Apa benar begitu??"

"Ya."

Melidas melipat tangan didada lalu mendekatkan wajahnya. "Benarkah?"

Tuan putri Serena menelan ludahnya merasa gugup lalu membuang muka kearah lain. "Bukan salahku! Itu karena suaramu sangat lembut...rasanya seseorang sedang menyanyikan lagu tidur untukku," jawabnya.

Tidak ada respon.
Tuan putri Serena menoleh lalu mendapati pemuda dihadapannya sedang terdiam dengan raut wajah sedih. Dia meraih bantal kemudian melemparkannya dengan maksud membalas dendam.

"Lihat siapa yang melamun sekarang!" Melidas tersadar lalu meminta maaf tetapi ekspresinya tidak berubah. Tuan putri Serena hanya menghela napas panjang.

Selesai kelas, dia beranjak turun dari tempat tidurnya untuk menemui sang kakak. "Apa kalian melihat kakakku?" tanyanya pada seorang pelayan yang lewat tepat setelah membuka pintu kamar.

Si pelayan sontak membungkukkan badan dengan sopan. "Pangeran kedua sedang berada diarena panahan. Mari, Tuan putri! Saya akan mengantar anda," ucapnya.

"Tidak. Aku akan pergi sendiri," tegas tuan putri Serena seraya melangkahkan kakinya dengan tertatih-tatih.

Sesampainya diarena panahan, Pangeran Heinry terlihat sedang fokus membidik beberapa target dengan beberapa anak panah sekaligus hingga kemunculan sang tuan putri membuat konsentrasinya pecah mengakibatkan salah satu panahnya melenceng dari target. Pangeran Heinry langsung membanting busurnya ketanah dengan penuh emosi.

"APA YANG KAU INGINKAN, SERENA?" teriaknya.

"Aku tau kau sudah mengancam ayah." Tuan Putri Serena langsung to the point. Pangeran Heinry mengeryitkan kedua alisnya.

"Aneh sekali, tiba-tiba ayah menyerahkan tahta kepadamu. Apa kau mengancam ayah dengan nyawaku????!!!" ucapnya lagi setengah berteriak.

Pangeran Heinry tersenyum miring. "Sepertinya kau sangat percaya diri...."

"Memangnya, apa lagi yang bisa kau lakukan selain itu?" sahut tuan putri.

"Satu-satunya keahlianmu adalah berpijak ditumpuan orang lain," lanjutnya.

Pangeran Heinry mengertakkan giginya dengan cukup keras. "Kau— "

"7 tahun yang lalu...aku hampir mati ditanganmu hanya karena ayah membiarkanku duduk diatas tahta lalu bergurau dengan mengatakan akan membiarkanku memilikinya. Aku melihatmu dengan mata kepalaku sendiri. Aku tau, kau bersalah tapi aku menutupi kejahatanmu karena tidak ingin membuat ibu merasa sedih."

THE THRONE RESERVED [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang