Part 35 - Rasa yang tumbuh

43 2 0
                                    

- • Happy Reading • -

"Gak mau ke dalem aja, El?" tanya seorang wanita paruh baya yang meletakkan dua gelas teh hangat bersama dengan biskuit sebagai camilan di atas meja teras.

Elvan menggeleng, "Mau cari angin, Tante" jawabnya.

"Bunda" panggil gadis dengan baju tidur pendek motif bunga yang sudah berdiri di ambang pintu, "Rama minta temenin makan".

"Kamu ajak ngobrol Elvan ya" pinta Irma diangguki saja oleh putrinya, "Bunda temenin Adik kamu dulu".

Vara duduk di samping Elvan setelah meninggalkan mereka berdua. Gadis itu diam tidak tahu harus bicara apa, ia ingin menanyakan sesuatu tapi takut jika Elvan akan menganggapnya terlalu percaya diri.

"Gue seneng banget hari ini" celetuk Elvan memulai pembicaraan setelah menyeruput teh yang menghangatkan tubuhnya.

"Kenapa?" tanya Vara asal.

"Gue balik ke lapangan" jawab Elvan, "Dan sekarang ada yang nunggu gue di tribun" imbuhnya sambil melirik singkat pada Vara.

Entah mengapa Elvan terdengar seperti membicarakan dirinya, dan Vara tersipu mendengarnya.

"Liona juga ada di tribun" ujar Vara saat menyadari bukan hanya dia yang ada di tribun tadi, "Lo liat dia?".

Elvan menggeleng, apakah benar yang Vara lihat itu? Bagaimana bisa Elvan tidak menyadarinya? Mengapa perhatiannya jatuh seluruhnya pada Vara?. Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Elvan setelah Vara mengatakan tentang Liona, gadis yang masih coba dia hapus dari dalam hati.

Vara menghela nafasnya, "Hari ini gue juga ngerasa kalau lo itu Elvan yang beda" ucapnya pelan seolah bergumam tapi sepertinya masih dapat Elvan dengar.

Keduanya terdiam, sama-sama enggan untuk kembali memulai pembicaraan. Tapi anehnya, Vara merasa aman dan ketakutannya pada sang Ibu yang menunggunya pulang perlahan mereda.

"Lo takut?" celetuk Elvan bertanya.

Gadis itu menggeleng kecil, "Enggak" jawabnya.

Dia berpikir Elvan mengetahui sesuatu, tapi sayangnya sikap pemuda itu susah ditebak membuat Vara tidak ingin menerka.

Vara mengusap lututnya yang terasa dingin tertiup angin sepoi malam hari, saat itulah sebuah jaket yang jatuh menutup kedua lututnya.

Si gadis menoleh pada Elvan yang hanya meliriknya saat pemuda itu sedang merapikan jaketnya agar dapat menghangatkan kedua lutut Vara yang sedari tadi gadis itu usap.

"Jam berapa?" tanya Elvan sambil menarik kembali tubuhnya untuk duduk seperti semula.

Vara memutar tubuhnya ke belakang melihat jam dinding dari balik kaca jendela, "Masih jam 8 lebih dikit".

Elvan berdiri sambil menggendong tasnya, "Gue pulang" pamitnya.

"Gue panggil Bunda dulu ya" Vara segera masuk dan kembali dengan sang Ibu.

Elvan menyalami sopan tangan Irma sambil berpamitan, "Pulang dulu, Tante".

"Hati-hati ya" ucap Irma yang hanya dibalas anggukan oleh Elvan.

Vara menatap Elvan yang berjalan menuju motornya, ia kemudian berlari kecil menghampiri Elvan sebelum pemuda itu menyalakan mesin motor.

"Jaket lo".

"Bawa aja, besok gue ke sini lagi".

Elvan lalu pergi setelahnya, motor besar itu melaju kencang menjauh dari rumah Vara menuju ke jalan raya.

ELVAN VARA | SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang