Satu bulan kemudian....
Seribu lilin dinyalakan untuk mengenang kepergian para kesatri sejati yang telah gugur dalam tugasnya, ini akan tetap tercata sebagai mimpi buruk, berbagai bunga sebagi simbol mengiklaskan terus bertambah seiring dengan keluarga korban yang mulai berdatangan pada malam hari penuh kepiluan ini.
Di markas mentri pertahanan, gelapnya malam di sinari ribuan lilin dan satu bulan di atas sana yang ikut menyaksikan bersama para arwah yang tidak bisa di harapkan lagi kepulanganya.
"Bukan nak, bukan ibu tak mengikhlaskanmu, ibu hanya butuh waktu, anaku" raung seorang perempuan parubaya dengan terus memeluk erat bingkai yang berisikan sosok gagah nan pemberani yang kali ini hanya bisa iya tatap matanya dalam sebidang poto. Di sampingnya terlihat sosok tegar namun di dalamnya penuh dengan kesedihan, menyembunyikan bukanlah obat dari rasa sakit, terlihat ketika sang ayah diam-diam menyekat air matanya.
Sungguh semua orang disini mengalami perasaan yang sama, sirine ambulance, ledakan senapan, bau wangi bermacam bunga yang ditabur di atas tanah kubur belum mereka bisa lupakan, sungguh ini kepiluan yang amat sangat menyakitkan.
"Ayah menyaksikanmu pada hari upacara pelantikan, ayah juga menyaksikan hari upacara pemakamanmu, putra kebanggaan ayah selamat jalan nak" seorang ayah dengan memperlihatkan ketegaranya menaruh setangkai mawar merah.
Datang seorang perempuan dengan mata sembapnya disusul dengan sepasang anak kecil di belakangnya.
"Mas" perempan itu merangkul kedua anaknya
"Kami datang" isaknya mulai terdengar
Anak kecil perempuan dengan gaun putih menaruh seikat bunga untuk ia persebahkan pada sang ayah.
"Ayah, kami akan jaga ibu di sini" ucap anak kecil laki-laki
Sontak membuat sang ibu menangis sembari memeluk kedua putra putrinya, suara tangisan yang amat pilu menyayat hati setiap yang mendengarnya.
Tidak terkecuali sena, ia ikut menyaksikan semua kesakitan ini, seperginya ibu dan dua orang anaknya, sena bergiliran maju untuk memberi persembahan terakhirnya.
Dengan seikat bunga tulip yang tengah di genggamnya, sena berlutut menarik napas panjang, berusaha tegar, sena menaruh ikatan bunga dengan rapih di sana.
"Maafkan aku"kalimat yang sena ucapkan sena benar-benar tulus dari lubuk hatinya, ia sungguh meminta maaf untuk banyak hal.
"Terimakasih telah berjuang untuk bangsa ini"
"Selamat jalan mas"sena bangkit dan beranjak meninggalkan tempat ini.
_____________
"Kesediahnya tercium dari bau melati yang masih nempe di badan lu" kanaya mengendus tubuh malang sena meringkuk di atas tempat tidurnya.
"Apa kita perlu ke bali atau lombok berlibur untuk menghilangkan kesedih ini" tanya kanaya sembari membelay rambut sena yang mulai basah oleh air mata yang sejak tadi mengalir tanpa henti.
"Kenapa kemarin-kamarin gue ga kasih feedback baik saat nico mulai mau memperbaikinya"
"Udah sen, ga ada yang perlu lu sesali" kanaya menjeda perkataanya "tatap mata gue" kanaya menangkap kedua pipi sena "lupakan dia sen, sejak awal semesta tidak mengijinkan lu bersama, gue ga mau liat lu semakin terpuruk seperti ini"
Sena menggelengkan kepalanya "ga bisa, gue ga bisa, kalo saja bisa sudah sejak awal gue lakuin semua itu tanpa orang lain minta"
" separuh jiwa gue entah kemana saat nico menghilang dan saat ini gue rasa cukup sempurna jiwa gue ikut bersama kepergian nico"
dalam rumitnya mendefinisikan hidup, sena juga di buat rumit dalam mendefinisikan cintanya sendiri, mungkin ini konyol ketika ada kesempatan yang semesta beri namun ia egosi dengan pendirianya kala itu, namun saat ini ketika semuanya tidak mungkin lagi sama, izinkan sena menjadi manusia biasa dengan segala kelemahannya bahwa ia benar-benar belum cukup rela atas takdir dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perwira Untuk Pertiwi | NICO
Short StoryCerita yang ringan, dan juga sedikit banyak pelajaran soal psikologi dan dunia kepolisin. Dulu mereka bertemua ketika akan sama-sama daftar di perguruan tinggi dan akademi kepolisisan, berpisah karena pendididkan lalu bertemu kembali setelah sama-sa...