POV Nawasena
Pagi ini aku berangkat kerja dengan mata sembab dan hidung bengkak, pilihan pertama untuk menutupi carut marutnya wajah ini gue memakai masker dan kacamata hitam, di pertigaan arah kantor gue baru ingat kalo jadwal hari ini meeting di luar, yang artinya mau tidak mau gue harus memutar arah.
Tiba di sebuah gedung pencakar langit, gue memilih memarkirkan mobil di besment, karena gue pikir hari ini jakarta bakal di guyur hujan dan sangat di sayangkan bila mobil yang baru kemarin dicuci harus kehujanan.
Memasuki gedung gue celingukan seperti orang bodoh, yaa karena memang gue baru pertama kali kesini, gedung yang didepanya bertulisan mabes polri (markas besar polisi republik indonesia), ini terlalu asing bagi gue, segera gue mendatangi resepsionis.
"pagi pak, saya ada janji dengan pak......" gue lupa nama seseorang yang akan gue temui pagi ini, diam-diam gue nyontek dari ponsel di dalam tas gue yang tidak terkunci dan menampakan soft file surat tugas dari kantor.
"Pak haris"
Dia menatapku seraya bertanya "dengan ibu sena"
"Iya benar" jawab gue cepat
"Mari saya antar ke ruangnya"
Dari tadi gue merasa di tatap aneh oleh siapa saja yang berpapasan, sampai akhirnya gue tau alasanya setelah melihat wajah gue di pantulan kaca, ternyata gue sedikit seram dan misterius.
"Sudah sampai bu, silahkan masuk" ucap bapak yang dengan baik hati mau mengantar gue sampai depan ruangan pak haris.
Sebelum gue mengetuk pintu yang bertuliskan brigjen pol haris wijaya M.Hub. Int. Sepeninggalan orang resepsionis tadi gue melepas masker dan kacamata hitam juga sedikit merapihkan tatanan rambut gue.
Gue Mengetuk pintu tidak menunggu lama pintu di buka dari dalam, menampakan seisi ruangan yang begitu luas dan mewah.
"Silahkan masuk bu" ucapa seseorang, yang gue rasa itu ajudan dari pak haris
"Pagi pak" gue sedikit membungkukan badan tanda hormat gue pada seorang paru baya sedang bersingah sana di kursi kebesaranya.
Gue melirik yayu teman kantor gue yang sudah duluan datang di terlihat sedang menahan tawa, membuat gue kebingungan apa maksud yayu menatap gue seperti itu.
"Silahkan duduk" pak haris mempersilahkan duduk kemudian ia beranjak menuju meja meeting yabg tidak jauh sari tempatnya duduk tadi, yang sudah di isi enam orang peserta meeting pagi ini yang jujur saja gue tidak mengenal lima orang lainya kecuali yayu.
"Sudah lengkap mari kit mulai meeting untuk hari ini"
○○○○○○
Meeting tadi cukup melalahkan kita baru selesai pada pukul 15 lewat sedikit, adapaun pembahasan di dalamnya membahas program meningkatan SDM dan infrastruktur untuk akdemi kepolisian di semarang.
Lantas gue baru tau kenapa kantor gue mengutus gue ke mabespolri karena ada rekomendasi dari doktet diaz (iya dia dokter yang ke papua bareng gua) ternyata suaminya juga dokter di polri yang tadi pagi juga ikut meeting, adapun tugas gue memberi penanganan pada kesehatan mental taruna akademi kepolisian juga pengasuh di sana, yang artinya mulai tiga hari kedepan sampai satu bulan gue bakal ada di semarang.
Tadi sempat gue tolak tapi pak haris sudah terdoktrin soal kemampuan gue yang katanya "bagus sebagai psikolog" entah sekeras apa diaz dan suaminya mendoktrin pak haris.
Mau tidak mau gue harus berangkat ke semarang, dan ternyata yayu tidak ikut kesana, sudah bisa gue pastikan ke asingan semarang bakal gue rasain kembali, dan semoga saja kenanganya tidak perlu gue rasain lagi.
"Sen lu kalo manggil pak haris jendral dong" ucap yayu sebari mengaduk latte yang tadi ia pesan
Berlatarkan caffe yang tidak jauh dari mabes dan kebetulan review di sosmed bagus jadi kita memilih tempat ini untuk makan siang meski sudah sangat telat.
"Tadi gue sedikit gerogi asli" jawab gue, dan memang tadi ketika masuk ruangan gue gerogi banget.
"Keliatan sih"
"Heran apa sih yang bikin lu gerogi"
Sebelum berniat menjawab pertanyaan yayu, tiab-tiba gue teringat sebuah poto yang tergantung di ruangan pak haris ukuranya cukup besar sampai itu menjadi objek yang cukup sangat mencolok disana, dan gue pastikan gue tidak salah lihat didalam poto itu terlihat pak haris sedang menyerahkan penghargaan pada seorang junioarnya yang bisa gue pastikan itu adalah almarum nico.
Baru saja gue membua mulut untuk menajwab pertanyaan yayu.
"Sen gue duluan revan katanya udah di depan tuh"
"Iya sih yang di jemput ayang" jujur gue sedikit kesel kenapa harus di tinggal sendirian lagi dan lagi (apa sih sen lebay).
Ting........
Tiba-tiba lonceng aingin yang kebetulan tepat di samping meja yang sedang gue tempati berdenting, gue mecari sumber yang membuat celah aing bisa masuk dan menggoyanglan lonceng tersebut.
Tubuh gue terpatung melihat sosok yang gue pikir itu nico dengan setelab hitam-hitam seragam brimob-nya, namun detik berikutnya tersadarkan ternyata itu hanya mirip saja dari perwakan laki-laki itu miliki yang baru saja memasuki caffe.
'Serindu itu gue'
'Pada raga yang tidak lagi bisa di dekap pada hati yang tidak lagi diri ini penghuninya beristirahatlah dengan damai'
Hati kecil gue mengirimkan do'a pada dia yang masih gue tunggu kedatangnya kembali padahal sangat mustahil.
💜💜💜💜💜
Gaes karena gue rasa cerita ini sudah dibaca secara aktif oleh beberapa pembaca, jadi gue mau nyapa kalian semua yang sudah mendukung dengan meberi vote. Hai..... Lova gue sayang kalian.
Semoga betah di sini yaaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perwira Untuk Pertiwi | NICO
Historia CortaCerita yang ringan, dan juga sedikit banyak pelajaran soal psikologi dan dunia kepolisin. Dulu mereka bertemua ketika akan sama-sama daftar di perguruan tinggi dan akademi kepolisisan, berpisah karena pendididkan lalu bertemu kembali setelah sama-sa...