Walau penyebab keadaan Violan seperti ini adalah Yoga tidak membuat semena-mena Violan melupakan kehadiran pemuda itu. Dia meletakkan bunga matahari di nisan pemuda itu. Seingatnya pemuda yang kini beristirahat dalam keabadiannya itu pernah menyebutkan bunga kesukaannya. Dan dia ingat bunga mataharilah yang disebutkan oleh pemuda tersebut.
"Warna yang sangat cerah namun berbanding terbalik dengan masa depan kamu" monolog Violan.
"Lo sebenarnya punya masa depan secerah bunga ini kalau saja lo gak bertindak bodoh. Ngapain sih lo pakai bunuh diri, padahal lo gak tau sistem anatomi. Yang lo tau itu cuma rancangan bangunan gak usah sok main-main pisau buat bedah tubuh. Gue aja yang punya ilmu tentang anatomi sedikit takut saat memutuskan untuk nyayat pergelangan tangan gue apalagi lo ya?"
Violan menghela nafasnya dan duduk di samping nisan pemuda itu. "Maaf gak bisa nemenin lo dalam peristirahatan terakhir lo walau gue tau lo dengan sukarela nyusul gue. Tapi bukan itu yang gue mau, gue lakuin itu karena gak pengen hal buruk terjadi. Harusnya lo gak langsung mutusin buat ikut bunuh diri"
Violan mendongak menatap matahari. Dia memejamkan matanya karena dirasakannya air matanya akan jatuh. "Kak, lo pernah jadi bagian hidup gue. Tetapi sampai maut pun angkat bicara gue masih belum bisa cinta sama lo. Gue berterimakasih banget karena lo beneran cinta sama gue. Bahkan sekarang gue kehilangan orang yang mencintai gue lalu mengejar sosok yang gak mencintai gue"
"Lo mau tau gak kisah bodoh gue? Gue saat ini menjalin hubungan dengan seorang pemuda tanpa ada perasaan sama seperti kita waktu itu. Bedanya saat ini gue yang berada di posisi lo. Terjebak dalam perasaan dan membohongi diri bahwa dia mencintai tetapi nyatanya gak"
"Tapi itu tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan lo kak. Gue juga terima ini dengan baik. Mungkin ini hukuman buat gue karena telah memperlakukan lo dengan buruk waktu itu"
Violan mengecup nisan Yoga seraya berucap "terima kasih untuk segalanya kak"
Violan kemudian berdiri, dia menepuk pakaiannya untuk menghilangkan noda debu yang mungkin melekat. Selanjutnya dia tatap kembali nisan di hadapannya tersebut. "Maaf kak, karna sesedih apapun gue atas kepergian lo tetap gak membuat air mata gue jatuh. Gue juga gak tau kenapa, tapi emang sepertinya gue yang jahat karena gak nangisin orang sebaik lo kak" Violan menjeda untuk mengambil nafas. "Gue tau lo itu orang baik, hanya karena satu masalah gak membuat lo jadi jahat kok kak, tenang aja. Yang jahat itu gue karena gue yang ngerubah lo dengan segala bentuk obsesi lo terhadap gue. Sekali lagi terimakasih kak"
Violan mengulas senyum di akhir kalimatnya. Kini dia tengah merekam bentuk dan kondisi gundukan tanah di hadapannya. Sangat indah, penuh dengan bunga. Satu yang terlintas di benak Violan, mengapa tempat menyedihkan ini harus begitu indah? Padahal dibawahnya telah tertidur sesosok raga yang membuat tangis tiap detiknya. Ini sangat menyakitkan bagi Violan. Bukannya memberi gambaran bahagia justru memberi pukulan bahwa sosok itu telah berada dirumah abadinya. Rumah yang indah, namun meninggalkan luka yang mendalam.
Tak ingin berlama-lama, Violan pun berbalik dan melihat sosok pemuda di ujung jalan. Ia sangat mengenal sosok tersebut. Sosok yang kini memiliki hak dalam hidupnya. Sosok yang yang kini berstatus sebagai kekasihnya. Tak ingin membuang waktu dia segera menghampiri pemuda itu.
Ketika Violan telah berada di dekatnya, pemuda itu segera membuang puntung rokok yang ia hisap. Kemudian menginjak untuk membuang puntung rokok tersebut. Violan yang melihat perilaku pemuda itu hanya memutar bola matanya jengah. Dia berjongkok kemudian mengambil puntung rokok tersebut. Namun dengan cepat Dicky menahan pergelangan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Waktu Bermain
Romance"Aku mencintaimu" Kalimat yang aku ucapkan dengan harapan membuahkan hasil yang aku mau. Namun, semua ternyata hanya tipuan, nyatanya kau tak mencintai diriku. Hingga semuanya berubah. Seakan waktu merestui, memutar balikkan keadaan. Kini kau mendam...