Sedikit demi sedikit pejaman mata itu kian membuka. Dengan samar menerima cahaya lampu yang menembus netranya. Kembali dia kedipkan matanya untuk menyesuaikan cahaya. Entah mengapa kepalanya terasa berat dan pusing. Sungguh, dia ingin terus berbaring saja, rasanya dia sudah tidak memiliki tenaga hanya untuk sekedar mendudukkan diri. Namun, setelah menyadari kondisinya dia segera mendudukkan diri.
Yah, kini dia berada didalam sebuah kamar yang lumayan lebih baik dibanding tempat sebelumnya. Setidaknya dikamar ini tidak terlalu dingin dan memiliki cukup pencahayaan. Dia merotasikan matanya untuk melihat seisi ruangan. Namun, seketika tubuh gadis itu meremang ketika telinganya menangkap frekuensi suara derap kaki tengah melangkah ke arahnya.
Kreeek...
Pintu kamar itu terbuka. Violan terus menatap pemuda yang kian mendekatinya dengan tangan sang pemuda memegang nampan berisi bubur, susu dan buah segar lengkap dengan peralatan makannya. Violan sama sekali tidak merubah posisinya yang masih setia duduk diatas ranjang itu. Tidak ada kata sambutan sama sekali dan sebagai gantinya hanya tatapan kosong yang dipersembahkan oleh Violan.
"Makan dulu ya" ucap pemuda itu lembut kemudian menaruh nampan di atas nakas. Dia bersiap menyuapi Violan namun gadis itu menolak.
"Vi, kamu harus makan. Udah dua hari kamu gak makan, nanti kamu sakit" bujuknya.
Violan tetap saja diam dan hanya menatap kosong ke depan. Gambaran Violan saat ini seperti hanya raga tanpa jiwa. Siapa yang akan merasa baik-baik saja jika berada dalam kondisi Violan? Tentu semuanya akan ketakutan.
Hahhh.... Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam. Dia harus lebih bersabar menghadapi gadis ini. "Vi, aku mohon makan ya" ucapnya sembari tangannya bersiap menyuapi Violan.
Pranggg....
Sendok itu jatuh membentur lantai. Melihat itu membuat kesabaran pemuda itu habis. Dia sudah tersulut emosi menghadapi tingkah Violan.
"Makan Violan!!" Teriaknya dengan tangannya sibuk menjejelkan makanan secara paksa ke mulut Violan. Violan tentu saja memberontak namun tenaganya tidak sebanding.
Puihh...
Kekeras kepalaan dan keberanian Violan patut diacungi jempol. Kembali dia berhasil menyulut kemarahan pemuda itu dengan memuntahkan semua makanan yang berhasil menerobos mulutnya.
"Gue bilang makan ya makan anjing!!!" Murka pemuda itu.
Plak!!!
Plak!!!
Plak!!!
Tiga tamparan berhasil mendarat dipipi mulusnya. Violan meraba pipinya yang terasa sakit akibat tamparan itu dan juga merasakan bekas sobekan di sudut pipinya kembali terbuka dan mengeluarkan darah. Tak dapat ditampik dia merasa pipinya sakit sehingga mengelus pelan pipinya tersebut kemudian kembali mendongak menatap pemuda itu. Tatapannya masih sama, kosong.
Melihat wajah Violan membuat dirinya kini menyadari perbuatan yang dilakukannya. "Vi... Violan kamu baik-baik saja? Hemm?" Tanya pemuda itu lembut.
Dengan hati-hati dia menyingkirkan tangan violan yang masih betah memegang pipinya. Digantikan dengan tangannya yang mengelus pelan pipi Violan yang terlihat kemerahan dan sedikit bengkak itu. Dia menyesali perbuatannya. Dia ingin mengutuk dirinya yang telah membuat luka pada tubuh Violan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Waktu Bermain
Romance"Aku mencintaimu" Kalimat yang aku ucapkan dengan harapan membuahkan hasil yang aku mau. Namun, semua ternyata hanya tipuan, nyatanya kau tak mencintai diriku. Hingga semuanya berubah. Seakan waktu merestui, memutar balikkan keadaan. Kini kau mendam...