ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤ
~~ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Pulang sekolah hari ini, Sea di jemput oleh Kakak tertuanya Artlas. Sejak dari dalam mobil, Artlas sudah mengoceh pada Sea, hingga kini berada didalam ruang tamu, masih terus memberikan segala celotehannya pada Sea. "Bagus ya, mau jadi apa? Nangis-nangis ga jelas cuma karna cowo, masih kelas 7 juga udah pacar-pacaran, laporin ke Ibu biar tau rasa kelakuan anak perempuannya ga bener sekolah."
Pasalnya saat menjemput Sea, Adiknya tersebut kedapatan tengah ditenangkan oleh teman-temannya, Sea yang terlihat menangis penuh drama, tidak tau apa yang terjadi hingga akhirnya Artlas mengetahui alasannya. Sementara Sea sudah menekuk wajahnya, karena Kakaknya tak mau mendengarkan penjelasan rincinya, hanya tahu menahu alasan dasarnya saja. "Pacar-pacaran dari sekarang, buat apa Sea? Belaga ga bisa hidup tanpa kamu, bisa buat kamu nangis-nangis ditinggal." Heran Artlas dengan terus mengikuti langkah Adiknya menuju ruang keluarga.
Bulan datang dari dapur, saat mendengar suara Artlas yang terus terdengar. "Sudah pulang? Ada apa A'?"
Artlas dan Sea menoleh bersamaan, hingga akhirnya Sea segera mendekati memeluk Ibunya. "Anak bungsu Ibu itu, nangis-nangis ga jelas disekolah, cuma karena cowo. Heran, masih kelas berapa juga udah main pacar-pacaran."
Mendengarnya Bulan menatap tak percaya pada Anak bungsunya. "Astaga Sea, untuk apa menangis."
"Ibuu― Sea menangis itu bukan karena sakit hati, tapi karena―" Ucapannya terhenti tak kala Artlas menyelanya.
"Malu-maluin tau ga."
"Ihh, orang Sea nangis tuh karena nyesel. Kenapa bukan Sea yang mutusin, kan Sea malu." Jelas Sea dengan suara yang keras.
Mendengarnya Artlas menggelengkan kepalanya tak habis pikir, semakin hari kelakuan Adiknya memang tidak masuk akal, seperti ada saja hal-hal mengejutkan. "Sekolah tuh sekolah dulu, masih jauh perjalananmu Sea, urusan cowo tuh nanti kalau udah gede." Lagi-lagi Artlas terus berucap pada Adiknya.
Sementara Sea semakin menekuk wajahnya, malas mendengarkan omelan Kakaknya. "Dengerin Kak Artlas itu, untuk apa pacaran sekarang nak?" Bulan ikut menggelengkan kepalanya sembari tertawa kecil.
"Ibuu maaf, Sea― Sea nyesel Ibu, kek seperti banyak hal sial selama pacaran." Ucap Sea dengan dramastis, sembari memegang kepalanya seolah tengah pusing sendiri.
Sementara Artlas dan Ibunya, memandang Sea dengan pandangan pasrah. Anaknya itu benar-benar penuh drama, seolah memang sudah terbiasa dengan kelakuan dramastis yang diciptakan oleh Sea.
"Kalau sadar ga ada gunanya, kenapa masih aja pacaran. Emang akal-akalan aja itu Bu." Arche ikut bersuara yang baru saja datang.
"Apasih, diem ga! Baru dateng ikut-ikut aja." Sewot Sea, karena Kakaknya datang untuk memanas-manasi keadaan.
"Arche bagaimana? Hari ini apa masih pusing?" Bulan beralih mendekat pada Arche, pasalnya akhir-akhir ini Arche sering mengeluh jika dada dan kepalanya sakit.
Arche tersenyum tipis disana, walaupun dirinya sudah dewasa tetapi Ibunya masih selalu menganggapnya selayaknya anak kecil baginya. "Sudah tidak lagi, sepertinya karena meminum obat, ruam kemerahan ditangan Arche juga semakin menghilang tidak muncul lagi." Jawab Arche, sembari menunjukan tangannya pada Ibunya, ruam kemerahan juga sempat muncul beruntungnya tak sampai hingga penyakit lupusnya kambuh parah.
Tak lama Bumi datang dari arah tangga, walaupun sudah tak lagi muda, Bumi masih cukup bugar diusianya kini. Sementara Sea kembali mendekat pada Ibunya dengan wajah memelasnya, ia teringat akan sesuatu, jadi dirinya juga ingin mengadu pada Ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY MOON 2 | Lizkook ✓
Fiction générale― Rasa rinduku padamu masih terus meluap-luap, menciptakan banyak kesedihan yang tak tertampung. Seolah-olah wajahmu masih terus terbayang berada di pikiranku. Hati ini berkata, sekeras apapun aku merasakan pahitnya rindu padamu, tak akan pernah ku...