9. Suami mesum?

942 24 2
                                    

Suasana di ruang keluarga kini tampak hening setelah Arsenio mengutarakan niatnya untuk membawa Ara pindah ke kediamannya. Baik mertua maupun kakak iparnya, sama-sama saling terdiam menatap ke arahnya, membuat pria itu tampak canggung dibuatnya.

Ara mengulum senyum, melirik Arsenio yang tampak salah tingkah. Padahal beberapa waktu yang lalu, pria itu meliriknya dengan tajam, seolah tengah mengibarkan bendera perang padanya.

"Apa tidak sebaiknya kalian tinggal di sini dulu?" tanya Luna dengan tatapan sendu.

Wanita paruh baya itu masih belum bisa rela, jika harus berpisah dengan putri kesayangannya yang hampir setiap hari ia marahi karena tingkah lakunya yang menyebalkan. Baginya, mau senakal apapun Ara, wanita paruh baya itu tetap menyayangi dan tidak ingin berpisah dari putri cantiknya itu.

Abian menggelengkan kepalanya, ketika mendengar permintaan istrinya yang dirasa cukup berlebihan, sebab saat ini, tanggung jawab atas putrinya, telah berpindah pada suaminya.

"Biarkan Ara mengikuti kemanapun suaminya pergi, Ma. Kalau Arsen sudah memilih untuk membawa Ara pulang ke rumah pribadinya, biarkan saja. Siapa tahu, Ara bisa berubah menjadi yang lebih baik," kata Abian bijak.

Tujuan awal Abian menikahkan putrinya di usianya yang masih muda, karena selain kesepakatan dengan sahabatnya, Aldrich. Pria itu juga ingin merubah Ara menjadi wanita yang memiliki tanggung jawab serta memiliki pendamping yang mampu membimbing putrinya menjadi sosok Ara yang lebih baik.

"Apa tidak terlalu terburu-buru, Pa?" tanya Luna pada sang suami dan dibalas dengan geleng kepala.

"Leo juga setuju dengan papa. Mau bagaimanapun Ara sudah menikah, dan sudah semestinya dia mengikuti kemanapun suaminya pergi," timpal Leo membuat Luna dan Ara langsung menghela napas pelan.

Ara sungguh terkejut mendengar jawaban dari papa serta kakak laki-lakinya yang terkesan menyerahkan dirinya begitu saja pada Arsenio, seolah-olah, dirinya adalah barang yang mudah dipindah dan dialihkan begitu saja. Gadis itu memberengut ke arah sang kakak yang justru tersenyum manis ke arahnya.

"Kita baru saja nikah, loh, Pak! Masak udah mau pindah aja. Lagipula rumah juga ini nggak kurang besar kalau cuma buat nampung bapak doang!" ketus Ara pada Arsenio, mengabaikan kedua orang tua serta kakak yang mendelik ke arahnya.

"Bicara yang sopan dengan suamimu, Ara!" tegur Abian, membuat Arsenio tersenyum tipis, merasakan kemenangan.

"Jika Ara tidak bersedia untuk pindah, tidak apa-apa, Pa. Mungkin memang saya yang terlalu terburu-buru mengajaknya pindah. Meskipun sebenarnya saya sudah menyiapkan semua keperluannya di sana."

Arsenio tersenyum ke arah mertuanya, menebar rayuan seakan dirinya menjadi menantu dan suami yang sangat sabar dan menerima setiap keputusan yang diambil oleh Ara. Namun, yang sebenarnya terjadi, karena pria itu ingin memancing emosi kedua mertuanya dan menganggap sikap Ara terlalu berlebihan, karena tidak menuruti perkataan suaminya. Dengan cara itulah, ia bisa membalas perlakuan Ara tadi siang terhadapnya.

"Lihat! Suami kamu bahkan lebih mementingkan kamu, daripada keinginan dia sendiri, Ara. Papa setuju dengan Arsen yang akan membawa kamu ke rumah pribadinya, karena memang itu juga bentuk dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami kepada istrinya." Abian tampak menghembuskan napasnya pelan, menatap putrinya yang saat ini tengah bersungut-sungut karena tidak terima jika dirinya harus keluar dari rumah yang sudah dua puluh satu tahun ini ia tinggali.

"Tapi Ara masih ingin di rumah ini, Pa!" keluh Ara dengan mata yang berkaca-kaca.

"Lihat kakakmu Amira. Dia sedari awal menikah, rela meninggalkan keluarganya yang ada di sini demi mengikuti abang kamu ke Surabaya. Contoh kakakmu, agar pernikahan kalian bisa langgeng!" Abian beranjak dari duduknya, kemudian memusatkan pandangannya ke arah Arsenio.

Secret Marriage [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang