27. Kekecewaan dan Kemarahan Ara

423 14 4
                                    

Bimo mendengkus kesal karena sambungan teleponnya langsung dimatikan oleh Arsenio tanpa menunggu dirinya menyelesaikan laporannya. Padahal ia ingin memberitahu Arsenio bahwa Hanin semalam memutuskan untuk terbang ke Indonesia setelah ia tanpa sengaja mengungkapkan bahwa Arsenio telah menikah. Beruntung hanya itu yang Bimo katakan, bukan tentang video Kanya ataupun pernyataan Hanin ketika wanita itu tengah mabuk. Bimo menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang saat ini menunjukkan pukul sembilan pagi dan tiga puluh menit lagi dirinya akan kembali ke Indonesia. 

“Bodoh banget, sih, gue! Gara-gara semalem ketiduran, jadinya tertunda mau laporan sama si Bos. Semoga aja si Hanin nggak buat ulah dan cari gara-gara sama si Bos!” gumam Bimo merasa bersalah. 

Pria itu sudah tiga hari di Singapura. Dua hari itu ia pergunakan untuk mencari informasi mengenai Kanya, sedangkan satu harinya ia pergunakan untuk istirahat. Namun, karena ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya pria itu menggunakan waktu istirahatnya untuk menemui Hanin di apartemennya. Sedikit perbincangan di antara mereka. Keduanya yang semula tampak akrab justru terlibat adu mulut dan di saat itu Bimo tanpa sengaja memberitahu Hanin bahwa Arsenio telah menikah. 

***

Ara masih terkejut akan kehadiran sosok wanita yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Gadis itu menerka-nerka akan maksud dari kehadiran wanita itu karena dirinya tidak ingin salah bicara yang nantinya akan menimbulkan masalah baru. Seulas senyum tipis kembali diterbitkan dari bibir tipisnya kemudian kembali melangkah mendekati kedua wanita itu. 

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Ara dengan ramah setelah ia duduk berhadapan dengan Kanya. Ia masih mempertahankan senyumannya seakan semua baik-baik saja. 

“Kamu pasti istrinya Arsenio, ya? Kenalkan, saya Kanya dan ini Bi Ima. Saya man–em teman Arsenio. Dia … ada di rumah?” tanya Kanya dengan sopan. Meski begitu, Ara tetap waspada dengan wanita di hadapannya saat ini sebab Ia masih khawatir dengan dugaan bahwa bayi yang dikandung wanita itu adalah bayi suaminya. 

Ara memandang wajah cantik di depannya saat ini dengan lekat. “Iya … saya Ara, istrinya. Ada perlu apa, ya, Mbak, mencari suami saya? Mas Arsen sedang bekerja sekarang,” jawab Ara dengan tenang. Namun, tidak dipungkiri jika hatinya semakin sakit ketika tatapannya tertuju pada perut buncit Kanya. 

Apa itu buah cinta mereka, batin Ara miris. 

“Em … saya sebenarnya ada sedikit perlu dengan Arsen. Saya kira dia di rumah karena kemarin dia mengatakan jika sedang kurang enak badan. Maaf, kalau saya lancang bertamu dan mengganggu waktu Mbak Ara, kalau begitu saya izin permisi,” pamit Kanya tiba-tiba. Wanita itu segera beranjak dari duduknya diikuti oleh Bi Ima di sampingnya. Namun, Ara dengan cepat menahan wanita itu agar tidak segera pergi. 

“Tunggu sebentar! Duduk dulu, Mbak,” cegah Ara kemudian mempersilakan Kanya untuk kembali duduk. Awalnya wanita hamil itu tampak keheranan. Namun, ia tetap mengikuti perintah dari Ara. 

Hati Ara semakin tidak karuan. Ia ingin meledakkan amarahnya sekarang, terlebih setelah mendengar jika wanita itu bertukar kabar dengan suaminya. Namun, pikirannya masih bisa dikontrol, ia tidak ingin mencari gara-gara dengan orang yang tidak mengusiknya. Meski begitu, Ara tetap tidak baik-baik saja sekarang. Luka hatinya telah menganga bersama dengan rahasia suaminya. Entah apa lagi yang disembunyikan suaminya. Ara merasa jika dirinya saat ini berada di titik tidak dianggap dan tidak diperlukan oleh suaminya sendiri. 

“Mbak bisa katakan maksud kedatangan Mbak ke sini. Nanti, biar saya beritahu suami saya,” kata Ara ramah. Namun, Kanya langsung menggeleng sebab masalahnya hanya dengan Arsenio dan ia tidak ingin mengatakan hal itu pada Ara. 

“Maaf–”

Suara klakson disusul suara pintu mobil yang ditutup dengan kuat membuat ucapan Kanya terhenti, tidak lama kemudian muncul Arsenio dengan napas yang tersengal-sengal dengan raut wajah yang terlihat khawatir. Pria itu menatap ke arah Ara dan Kanya secara bergantian. Seketika atmosfer di dalam ruangan berubah. Arsenio menahan napas ketika melihat raut wajah terkejut dari kedua wanita yang kini tengah menatapnya. Arsenio bergeming, ia khawatir jika Kanya sudah mengatakan yang tidak benar pada istrinya. 

“Sayang,” panggil Arsenio lirih dengan tatapan terpaku pada sang istri. Pria itu berjalan dengan pelan, mendekat ke arah Ara kemudian duduk di sebelahnya, sambil meletakkan kunci mobilnya ke atas meja. 

“Mas, kamu, kok, pulang? Aku nggak ada minta kamu buat pulang, loh,” tanya Ara pada suaminya. Ia sedikit terkejut melihat suaminya tiba-tiba saja pulang ke rumah padahal tidak ada yang menghubungi dirinya.

Arsenio tampak gelagapan. Namun, pria itu mencoba untuk menguasai dirinya. “Y-ya–”

“Mas tahu kalau Mbak Kanya ke rumah, makanya, Mas, pulang? Apa ada sesuatu yang Mas sembunyikan dari Ara?” potong Ara begitu melihat suaminya tampak salah tingkah. Ditatapnya wajah tampan di sampingnya dengan seksama hingga membuat Arsenio langsung menundukkan kepalanya dan hal itu semakin membuat Ara curiga. 

Arsenio kembali menatap ke arah istrinya. Kali ini disertai dengan senyuman hangat seperti biasanya. “Kamu ngomong apa, sih, Sayang. Mas nggak ada–” Arsenio tampak menjeda ucapannya. Pria itu bingung harus mengatakan apa pada istrinya sebab ia tidak ingin terus menerus membohongi istrinya. 

“Nggak ada apa? Sepertinya hanya aku di sini yang nggak tahu urusan kamu sama dia!” Ara menunjuk ke arah Kanya. “Ah … rasanya mustahil kamu cerita sama aku, Mas. Bahkan pernikahanmu dengan Mbak Kanya saja, aku, baru tahu. Jangan-jangan, aku ini istri kedua sekaligus madunya? Heh … hebat, kamu, Mas! Kamu berhasil membuat aku jatuh cinta sama kamu dan kamu juga berhasil mematahkan cinta itu! Sekarang aku harus apa, Mas … hatiku sakit melihat kenyataan ini!” jerit Ara dengan menahan sesak di dadanya.

Luruh sudah pertahanan Ara, air mata yang sedari tadi ia tahan kini meluncur dengan bebas. Gadis itu menangis tersedu-sedu di hadapan suaminya, tanpa mempedulikan ada Kanya dan Bi Ima di sana. Padahal tadinya Ara bertekad untuk tidak mengamuk. Namun, hal itu berubah sejak kehadiran suaminya yang tiba-tiba tanpa diminta. Sudah cukup ia memendamnya selama beberapa hari ini apalagi ketika melihat suaminya pulang dengan tergesa-gesa, hal itu semakin menguatkan keyakinannya jika mereka berdua memang masih ada hubungan.

Hatinya telah memberikan sinyal dan berkata untuk berhenti berbicara. Akan tetapi, logikanya memaksa dirinya untuk mengungkapkan semua kegelisahan serta rasa sakit yang dirasakan beberapa hari ini. Ara sudah tidak sanggup menutupi kesedihannya dengan pura-pura bodoh di hadapan semua orang. 

“Sayang,” panggil Arsenio lirih bersamaan dengan kepalanya yang ikut menggeleng lemah. “Itu semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu istri Mas satu-satunya, Ara!” jelas Arsenio langsung merengkuh tubuh sang istri. Akan tetapi, Ara langsung memberontak dan melepaskan diri dari suaminya. 

“Jangan sentuh aku, Mas! Bagaimana bisa aku percaya dengan kata-katamu sementara dia–” Ara menunjuk ke arah Kanya. “Lihat! Dia saja saat ini sedang mengandung. Bukankah itu berarti bayi yang ada di dalam kandungannya adalah bayimu?” cecar Ara mendesak suaminya. 

Baik Kanya maupun Arsenio terlihat terkejut mendengar ucapan Ara. “Ara … dengarkan, Mas, dulu, Sayang. Mas akan jelaskan semuanya sama kamu!” ucap Arsenio pelan dengan mencoba menenangkan istrinya yang sama sekali tidak ingin disentuh. Arsenio tampak frustrasi, pria itu menyugar rambutnya ke belakang dan menoleh ke arah Kanya yang tengah kebingungan menatap ke arahnya. 

“Kamu pulanglah, Kan. Biar aku selesaikan masalah ini berdua dengan istriku,” ucap Arsenio datar. 

Kanya menggeleng cepat. “Tidak, Ar, ada yang ingin aku katakan sama kamu,” tolak Kanya dan hal itu semakin membuat Ara muak mendengarnya. 

“Kan, please …,” pinta Arsenio memaksa Kanya untuk pergi. Ia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Ara dan menjelaskan semuanya. Namun, sepertinya Kanya sangat sulit untuk diberi tahu. 

“Sudah, cukup! Biar aku saja yang pergi!” tukas Ara kemudian beranjak dari duduknya. Gadis itu menyambar kunci mobil suaminya yang tergeletak di atas meja kemudian pergi meninggalkan mereka semua yang ada di ruang tamu. Arsenio dan Kanya tampak gelagapan. Mereka langsung beranjak dari duduknya untuk mencegah Ara pergi dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. 

“Ara, tunggu, Sayang! Tolong jangan pergi dalam keadaan emosi!” teriak Arsenio mencoba mencegah istrinya pergi. Namun, hal itu sia-sia sebab Ara tampak tidak peduli. 

“Mbak Ara. Mbak, salah paham!” teriak Kanya yang berjalan sedikit cepat sambil memegangi perutnya yang kembali terasa kram. 

Wanita itu ingin menyusul Ara. Akan tetapi, Ara sudah keluar rumah lebih dulu dan kini tengah berlari menuju ke arah mobil suaminya. Tanpa mepedulikan teriakan Kanya dan suaminya, Ara langsung masuk ke dalam mobil dan segera melakukannya dengan tergesa-gesa. Tanpa mereka semua sadari, seseorang di seberang jalan tengah menatap mobil yang dikendarai Ara sambil menarik sebelah sudut bibirnya. 

Secret Marriage [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang