11. Kedatangan seseorang

616 22 0
                                    

Suara guntur dan kilatan petir di malam yang semakin pekat membuat Ara kesulitan untuk memejamkan matanya. Apalagi ada Arsenio yang tengah berbaring di sisi sebelahnya, membuat gadis itu semakin terjaga. Gadis itu sesekali merubah posisi tidurnya agar nyaman, tetapi, yang ada dirinya justru semakin gelisah.

Arsenio kembali membuka matanya ketika merasakan pergerakan dari atas kasurnya, pria itu melihat ke arah sang istri yang ternyata masih terjaga.

"Ada apa?" lirih Arsenio, membuat Ara yang semula memunggunginya, berbalik menatap ke arahnya.

"Nggak ada apa-apa, Pak," lirih Ara tanpa tenaga, kemudian mencoba untuk memejamkan matanya. Namun, Tiba-tiba suara guntur terdengar menggelegar membuat Ara langsung menutupi telinganya dan meringkuk di bawah selimut tebalnya.

Arsenio menaikkan sebelah alisnya, merasa penasaran dengan tingkah istrinya. "Kamu nggak bisa tidur? Takut petir?" Pria itu menggeser tubuhnya hingga berdekatan dengan sang istri. Memiringkan badannya, meraih selimut yang menutupi wajah istrinya kemudian membukanya.

Ara menatap Arsenio kemudian mengangguk pelan. Manik mata bening itu memperlihatkan betapa dirinya tengah panik dan khawatir. Ara kembali memperhatikan Arsenio yang malam ini terlihat begitu tenang, tidak ada guratan emosi apalagi wajah mengejek ketika dirinya mengiyakan sebagai jawaban.

"Lah, anak jalanan juga takut petir, rupanya!" sindir Arsenio membuat Ara langsung melotot ke arahnya. Ara mengira jika Arsenio benar-benar peduli dengannya, tetapi, nyatanya pria itu sama saja, selalu membuatnya seperti menaiki roller coaster yang terkadang tenang, terkadang juga menguji kesabarannya.

"Kirain beneran peduli, ternyata cuma bohongan!" seru Ara kesal.

Gadis itu langsung membalikkan posisi tidurnya untuk memunggungi Arsenio dan mencoba untuk memejamkan matanya. Hatinya yang semula tenang kala diberikan perhatian lebih oleh Arsenio, mendadak menjadi panas hingga yang tersisa hanyalah kekesalan.

Terdengar samar suara air hujan yang perlahan turun membasahi bumi, menciptakan suasana yang kembali tenang dan nyaman. Ara sudah mulai tenang, kilatan petir dan suara guntur tidak lagi terdengar, membuat gadis itu bisa segera memejamkan matanya yang mulai terasa lelah.

Arsenio merapatkan dan melingkarkan lengan kekarnya pada tubuh Ara, membuat gadis itu seketika menegang.

"Bapak jangan macam-macam, ya!" sentak Ara dan langsung memukul tangan suaminya. Gadis itu juga mencoba menjauhkan lengan Arsenio yang melingkar di perutnya. Namun, pria itu tetap bergeming.

"Sudahlah, kamu diam saja. Biarkan seperti ini agar kamu bisa tidur dengan nyaman," kata Arsenio sembari mengeratkan pelukannya.

Jarak yang tercipta antara Arsenio dengan Ara, membuat jantung gadis itu berdebar tidak karuan. Apalagi Arsenio memeluknya dengan posesif seakan takut dirinya akan pergi darinya. Begitu juga dengan Arsenio yang kini merasakan debaran hebat di dadanya. Debaran yang baru pertama kali ia rasakan, meskipun ia sudah pernah menjalin hubungan dengan wanita lain bahkan juga menikah. Namun, pria itu dengan cepat, mampu mengendalikan dirinya dari perasaan itu.

"Bapak bisa munduran dikit, nggak? Sesak, nih! Di belakang Bapak juga masih kosong, 'kan?" keluh Ara yang merasa tidak nyaman karena ini adalah pengalaman baru baginya, dipeluk oleh pria selain papa dan kakaknya.

"Kamu berisik sekali, Ara! Berhentilah mengoceh dan cepat tidur. Ingat! Patuhi perkataan suami kamu!" tegur Arsenio membuat Ara langsung pasrah. Lagi-lagi, dirinya selalu diingatkan oleh pesan papanya untuk mematuhi suaminya. Hal itu tentu membuat Ara semakin kesal karena tidak bisa melakukan apapun dengan dalih patuh dengan suami.

"Janji tidak akan macam-macam sama, saya?" kata Ara dengan menyodorkan jari kelingkingnya.

"Hm, tidak macam-macam, hanya satu macam saja," lirih Arsenio di tengah kesadarannya.

Secret Marriage [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang