Arsenio segera mengajak Ara menuju ke mobil untuk diajak pulang. Keduanya tampak mengacuhkan Bastian yang tengah menuntut kejelasan darinya. Ara melirik ke arah Arsenio yang tengah fokus menyetir. Sudah hampir sepuluh menit yang lalu mereka melintasi kemacetan. Namun, tidak sepatah kata pun keluar dari bibir suaminya. Tiba di rumah, Arsenio segera meminta Ara untuk membersihkan diri sementara pria itu memilih untuk ke ruang kerjanya.
Arsenio memijat kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Ia tidak menyangka jika ia akan semarah itu ketika melihat istrinya bersama mantan kekasihnya. “Jika aku bisa marah dengan pria itu, tidak menutup kemungkinan Ara juga akan melakukan hal yang sama ketika tahu kalau aku masih bertemu dengan Kanya. Tapi apa yang dialami Kanya juga ada sangkut pautnya denganku. Aku harus apa, Tuhan!” gumam Arsenio lemah.
Arsenio tengah memikirkan cara untuk memulai pembicaraan dengan istrinya. Namun, ia tidak sanggup menerima kemarahan Ara, apalagi sudah beberapa hari ini dirinya bertemu dengan Kanya. Ia tidak ingin membuat Ara kecewa karena ia masih berhubungan dengan Kanya. Di tengah keresahannya, pintu ruang kerjanya diketuk kemudian dibuka dari luar. Terlihat Ara tengah membawa nampan, berjalan ke arahnya.
“Mas, aku bawain teh hangat.” Ara meletakkan nampan di atas meja kemudian mengangsurkan secangkir teh ke hadapan suaminya. “Maaf, ya, gara-gara aku, Mas harus bekerja dari rumah,” kata Ara kemudian duduk di kursi berseberangan dengan suaminya.
Arsenio tampak mengulas senyumannya. “Kenapa harus minta maaf. Kamu istriku, dan aku berkewajiban melindungimu. Kamu baik-baik saja, ‘kan? Apa perlu kita ke dokter?” tanya Arsenio memastikan. Wajah yang tadinya mendung kini langsung berganti cerah sebab tidak ingin membuat sang istri curiga.
“Aku baik-baik saja, kok, Mas.” Ara beranjak dari duduknya hendak keluar, tetapi, Arsenio menahannya.
“Mau ke mana?” tanya Arsenio.
“Ke kamar, Mas. Kenapa? Mas butuh sesuatu?” tanya Ara kembali duduk di kursinya.
“Tidak ada. Ayo kita ke kamar saja. Aku sudah tidak ada pekerjaan.” Arsenio beranjak dari duduknya kemudian menggandeng tangan Ara untuk keluar dari sana. Namun, Ara teringat akan teh yang ia bawa belum tersentuh sama sekali. Akhirnya Ara meminta suaminya untuk ke kamar lebih dulu.
Ara berbalik dan segera mengambil gelas dan nampan yang tadi ia bawa. Namun, pandangannya tiba-tiba terpusat pada sebuah pigura yang tergeletak di sudut meja kerja suaminya. Mata gadis itu memicing, ia penasaran dengan pigura itu dan mencoba mengambilnya dengan hati-hati.
“I-ini ….” Ara membekap bibirnya kala melihat foto yang ada di dalam pigura itu.
Kepalanya menggeleng kuat, matanya tampak berkaca-kaca, bahkan tubuhnya langsung bergetar hebat. Apa yang baru saja Ara lihat seperti tombak yang menembus ke dalam jantungnya, dan itu terasa sakit dan perih. Ara memegangi dadanya yang terasa sangat sesak hingga meluruhkan tubuhnya ke lantai yang dingin.
"K-kenapa di sini ada Mas Arsen dengan wanita lain. Apa mungkin dia berselingkuh? Atau sebenarnya aku yang kedua?" gumam Ara memandang lekat ke arah foto di tangannya. Matanya mulai meneliti satu persatu wajah di dalam pigura itu, hingga Ara tersentak kaget ketika melihat wanita di dalamnya dengan intens.
“Tunggu! Bukankah dia wanita yang menabrakku di lobi? Dia juga menangis ketika keluar dari sana. Apa mungkin–” Ara menggeleng tidak percaya.
“Tidak-tidak! Ini pasti hanya mimpi. Ya, benar. Hanya mimpi. Tapi kenapa begitu nyata. Apa jangan-jangan wanita itu sedang hamil anaknya Mas Arsen?” Ara mencoba menebak apa saja yang ada di dalam pikirannya. Ia mulai menyatukan beberapa potongan ingatan tentang pertemuannya dengan wanita hamil di lobi kantor suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Marriage [TERBIT]
Narrativa generaleOPEN PO mulai tanggal 01 februari - 01 Maret 2024. Informasi pemesanan di instagram @nebulapublisher. "Mari batalkan rencana pernikahan ini!" "Kalau kamu mau menolak, silakan! Tapi saya tidak akan membatalkannya!" *** Arabella, gadis berusia 21 tahu...