Arzio mulai memasuki pelataran pemakaman umum dimana kekasihnya disemayamkan. Dengan bantuan sang ayah, kursi roda yang ia duduki ini mulai berjalan lirih ke arah gundukan tanah dimana kekasihnya ada didalamnya. Tak ada raut wajah senang, tak ada raut wajah gembira dari Arzio—— Ia, ia sama sekali tak bahagia akan bertemu dengan kekasihnya itu.
Gundukan tanah dengan batu nisan putih cantik dan tertera nama " Chika Kaira " itu menjadi tempat pemberhentiannya. Sesakan dari dadanya terasa sekali saat ini, hatinya masih belum terima nama kekasihnya berada pada batu nisan di depannya ini.
Gracio berjongkok, mengusap batu nisan didepannya ini dengan pelan.
" Chika, ini zionya udah dateng kesini buat lihat kamu"
Arzio menangis, rasanya ingin sekali membongkar gundukan tanah didepannya ini dan memeluk sang kekasih dengan erat seperti biasanya. Arzio hanya duduk di kursi rodanya dengan netranya yang tak ia alihkan pada makam kekasihnya ini, ini lebih sakit dari yang Arzio bayangkan.
Lidahnya kelu, mulutnya membisu, tubuhnya membeku, Arzio tak pernah merasakan sesakan di dadanya selama ia hidup dua puluh dua tahun ini. Ia tak sanggup mengatakan satu kata pun di depan makam kekasihnya ini, hanya tangis yang mendominasi suaranya.
Gracio mulai berdiri dari posisi berjongkoknya, ia usap bahu anak sulungnya ini dengan tepukan kecil beberapa kali. Ia berusaha memberi kekuatan pada anaknya ini, ia tau ini akan berat untuk Arzio.
" Taruh bunganya, katanya itu bunga kesukaannya Chika?" suruh Gracio
Bunga tulip berwarna putih yang sengaja Arzio dan sang ayah beli ketika perjalanan menuju makam sang kekasih ini masih bertengger dengan setia di pangkuan Arzio. Bunga ini sangat disukai oleh Chika, Arzio sering membelikannya saat itu. Kini bunga itu mungkin akan lebih sering Arzio beli, mungkin.
Tangannya terulur dengan memegang satu ikatan bunga tulip yang sangat indah itu. Tubuhnya sedikit menjorok kedepan mengingat jika ia tak bisa berjongkok maupun berdiri dari duduknya. Gracio sedikit memegang tubuh sang anak, berjaga-jaga jika sang anak kehilangan keseimbangannya nanti.
Jika biasanya ia akan memberi Chika bunga tulip yang sangat indah ini dengan senang hati, kali ini berbeda. Ia memberikan bunga tulip yang sama indahnya namun dengan hati yang berat.
Suara isakan semakin terdengar jelas pada gendang telinga milik Gracio, isakan sang anak yang beberapa hari belakangan ini sering sekali terdengar pada indra pendengarannya itu. Setiap malam ia mendengarnya, isakan Arzio yang begitu terdengar tersiksa dengan semua yang terjadi kali ini. Gracio tak tega, siapa—— Siapa yang tega mendengar isakan tangis kesengsaraan dari anaknya kandung sendiri? Tak ada, tak ada orangtua yang sanggup mendengarnya.
Cuaca yang hari ini mulai tak bersahabat dengannya harus membuat dua lelaki di pemakaman ini harus segera kembali ke mobil mereka. Hujan rintik-rintik yang mulai terasa pada telapak tangan yang ia adahkan keatas harus membuatnya mengajak sang anak untuk segera pulang.
" Udah mau hujan, pulang dulu ya?" ajaknya
Arzio menggeleng lirih dengan netranya yang sedari tadi masih setia pada gundukan tanah didepannya ini," Zio disini aja ya pa? Zio nemenin Chika disini aja" jawabnya lirih
Gracio sedikit menghela nafas panjang, tubuhnya ia ajak lagi untuk berjongkok dan menghadap pada sang anak yang duduk di kursi roda didepannya ini.
" Chika bakal lebih sedih kalau ngeliat kamu sakit lagi, pulang ya? Besok papa anter kesini lagi"
Arzio masih diam, tak ada anggukan maupun penolakan darinya.
Jika ia bisa memilih, ia akan memilih untuk ikut Chika disana. Ia akan memilih meninggalkan dunianya ini untuk bisa hidup abadi bersama sang kekasih, namun itu suatu hal yang konyol bukan?
![](https://img.wattpad.com/cover/316428516-288-k843097.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
EGOIS? ( END )
أدب المراهقينEntah siapa yang egois disini, dia atau takdir Tuhan yang memang tak berpihak padanya