TUJUH

14.2K 1K 28
                                    

Kalandra menatap Siera yang tampak nyaman bersama Mamanya. Entah apa yang mereka bicarakan, seolah tak lelah untuk bercerita. Kalandra menghampiri keduanya, waktu juga sudah jam 9 malam. Jika tak segera dihentikan, bisa saja mereka terus seperti itu.

"Ma, Papa mencari Mama," ucap Kalandra.

"Oh, ya?" Adelia melihat jam tak jauh dari tempatnya dan terkejut saat menunjukkan waktu pukul 9 malam. "Astaga, Mama terlalu asyik mengobrol dengan Siera. Kalau begitu Mama pergi ke atas," pamit Adelia pada Siera dan Kalandra.

Setelah Adelia menghilang, Kalandra langsung memeluk Siera.
"Apa yang kalian bicarakan?"

Siera tersenyum, melihat sikap Kalandra manja padanya membuat hatinya menghangat.
"Hanya obrolan masalah wanita."

"Kalian terlalu asyik, sampai-sampai tak mengenal waktu."

"Ya seperti itulah kami, para wanita, bila sedang membahas suatu masalah, akan merembet ke mana-mana," aku Siera dan terkekeh geli.

"Antar aku pulang, ya."

"Kenapa tak menginap saja? Sepertinya hujan akan turun."

Dugaan Kalandra benar-benar terjadi, hujan turun dengan derasnya, membuat dua sejoli saling berpandangan. Siera tak bisa menahan tawanya dan Kalandra juga ikut tertawa.

"Jadi?" Kalandra menaikkan alisnya, menunggu jawaban dari sang tunangan.

"Boleh aku menginap?"

"Sure." Mereka kembali masuk ke rumah.

**

Siera memang ingin menginap, tapi tak seperti ini juga. Siera menatap Kalandra yang mempersilakan untuknya masuk ke kamar.

Hanya saja, kenapa di kamar Kalandra? Mereka belum resmi menikah. Bolehkah mereka sekamar?

"Sayang, kita tidur berdua?"

"Kenapa?" Awalnya Kalandra bingung, namun sadar jika mereka masih bertunangan. Kadang kala Kalandra masih menganggap Siera istrinya.

"Tak apa kita tidur sekamar, kita tak akan melakukan apa-apa." Kalandra meyakinkan Siera jika dia tak melakukan hal merugikan mereka.

Nyatanya, Kalandra tidur seraya memeluk Siera. Tak tahu saja jika posisi mereka membuat Siera merasa jantungnya berdetak hebat. Sungguh, perubahan Kalandra memang membuatnya senang, tapi juga membuat Siera terkejut.

Siera mendongak, hingga tatapan mereka bertemu. Tangan Siera terangkat, menelusuri wajah Kalandra dari pipi sampai mengusap rahang Kalandra yang terasa kasar karena bekas cukuran.

"Kamu tahu, sikap kamu beberapa hari ini seperti mimpi untukku," ucap Siera memecah keheningan. "Rasanya mustahil membuat kamu menatap ke arahku."

Kalandra diam tanpa menyela Siera. Kalandra ingin tahu perasaan Siera. Ia menatap teduh Siera dan membiarkan wajahnya dibelai oleh tangan Siera.

"Aku pikir apa yang merasukimu sehingga membuatmu berubah seketika. Apa hanya rasa kasihan, atau kamu memang ingin membuka hati untukku. Aku harap jawaban terakhir yang akan kamu ucapkan." Siera tertawa kecil, namun mengingat sikap Kalandra dulu, Siera sering merasakan sakit.

"Aku tak ingin kamu membuatku semakin mencintaimu, bila pada akhirnya kamu mening..."

"Ssstt, jangan diteruskan. Karena semua itu tak akan terjadi. Aku tahu kesalahanku padamu di masa lalu sangat keterlaluan, aku minta maaf untuk hal itu." Kalandra menempelkan jari telunjuknya di bibir Siera.

"Aku benar-benar ingin memulai semua dari awal. Hanya denganmu. Maukah kamu menerima pria ini, hm?"

Air mata Siera turun dengan sendirinya. Siera tak ingin menangis, tapi air matanya tak bisa menghentikan lajunya.
"Aku harap kamu tak menyakitiku, Kalan, aku sangat mencintaimu. Sangat."

𝐊𝐞𝐬𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang