EMPAT BELAS

5.7K 491 14
                                    

"Jangan pernah kamu berpikir aku akan memperlakukanmu selayaknya seorang istri. Karena di mataku, pernikahan ini tak ada arti."

Ucapan tajam itu melukai hatinya, ketika pria yang statusnya sudah menjadi suaminya berkata demikian, dihari pertama mereka menikah.

"Tak bisakah kamu berpura-pura bahagia? Kenapa harus mengatakan hal menyakitiku." Ia menahan air matanya, sesak di dada ia tahan. Tak akan pernah ia perlihatkan sisi lemahnya pada siapapun, termasuk pria di depannya ini.

Pria itu tertawa sinis, menyugar rambutnya ke belakang, dan menatap perempuan yang sialnya adalah istrinya dengan tajam.

"Bahagia? Bukankah aku sering mengatakan padamu untuk mengakhiri?! Akhiri semuanya! Tapi nyatanya kamu keras kepala dan malah mengikatku dalam pernikahan tak kuinginkan," sentaknya keras.

"Itu karena aku mencintaimu!" jeritnya.

"Kamu pikir aku percaya? Jika obsesi, aku mempercayai hal itu," sinisnya.

Perempuan itu menghela napas kasar, sampai kapan pria di depannya ini dapat melihat cintanya yang besar ini padanya? Ini bukan obsesi, namun cinta! Hanya saja ia tak pernah menyerah untuk mendapatkan cintanya.

Bodoh, jika cinta tak harus memiliki. Nyatanya ia tak akan kuat merelakan pria dicintainya jatuh kepelukan wanita lain.

"Tak bisakah kamu melihat betapa aku sangat mencintaimu? Kenapa kamu tak mencoba membuka hatimu padaku? Aku yakin dengan seiring waktu kamu akan mencintaiku."

"Bukankah kamu tahu jawabannya?"

Lagi dan lagi wanita itu. Kenapa? Kenapa mantan sahabatnya harus menusuknya dari belakang? Kenapa mantan sahabatnya begitu mudah mendapatkan pria yang dicintainya? Kenapa ia sulit mendapatkan hati suaminya? Padahal ia lebih dulu mengenal suaminya daripada wanita itu. Kenapa?!

"Tapi sekarang kamu adalah suamiku! Aku ingin kamu meninggalkannya. Ingat, aku lebih berhak atas dirimu daripada dia."

"Itu semua hanya ada dalam mimpimu!" ucapnya kejam. Pria itu pergi meninggalkannya seorang diri. Di hari malam pertama mereka, suaminya tega meninggalkannya.

Ia menjerit keras, menghancurkan barang yang ada di sekirtarnya, bahkan ranjang yang ditaburi bunga ia rusak. Betapa berantakannya kondisi kamar pengantin itu yang harusnya menjadi saksi bisu malam pertama yang indah.

Air mata yang ia tahan akhirnya keluar. Tubuhnya luruh ke lantai, memukul lantai sekuat tenaga melampiaskan rasa amarahnya. Seharusnya mereka menikmati malam-malam yang indah, namun ternyata semua itu hanya angannya saja. Pria itu meninggalkannya dengan menambah luka di hatinya.

****

Siera benar-benar menikmati perannya sebagai istri. Tak terasa sudah satu bulan pernikahannya dengan Kalandra, dan semua baik-baik saja. Tak ada pertengkaran berarti, bahkan suaminya menghujaninya dengan kata-kata romansa. Bagaimana mungkin ia tak semakin mencintai suaminya?

Sejauh ini, Kirana juga tak menganggu rumah tangganya sehingga Siera merasa lega. Karena bagaimanapun, Kirana pernah mengancamnya merebut Kalandra darinya.

Pelukan dari belakang mengejutkannya, namun melihat siapa yang memeluknya Siera tak dapat menahan senyumnya. Bibir mereka bertemu, setelah itu Siera melanjutkan memasaknya dan membiarkan sang suami memeluknya. Ia sama sekali tak merasa terganggu.

"Tumben sudah pulang?" tanya Siera setelah selesai memasak. Siera meminta tolong pada pelayan rumahnya untuk menata masakannya di meja makan.

Kalandra melingkarkan tangannya di pinggang Siera dan mereka melangkah menuju ke kamar. "Pekerjaan sudah selesai, buat apa lama-lama di kantor." Entah kenapa Kalandra selalu merindukan sang istri. Maka dari itu ia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan dan segera pulang ke rumah.

𝐊𝐞𝐬𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang