"Aku membencimu!"
"Tak bisakah kamu tak menghalangi kebahagiaanku?!"
"Kenapa kamu tak mau melepaskanku?! Kamu tahu, aku tak pernah bahagia bersamamu!"
"Bersamamu membuatku tercekik, lepaskan aku karena kamu bukan sumber kebahagiaanku!"
"Aku sangat-sangat menbencimu, kehadiranmu membuatku tak bisa bersama dengan wanita yang kucintai."
"Tak bisakah kamu tak menganggu kami? Kenapa kamu selalu menganggu!"
"Aku membencimu, membencimu, membencimu!"
"TIDAK!"
Siera tersentak dalam tidurnya. Napasnya terengah-engah seolah ia ikut merasa sakit hati dengan ucapan itu.
Suara siapa itu? Kenapa ia tak mengenal pemilik suara itu. Bahkan ia tak melihat jelas siapa orang itu. Wajahnya buram, ia tak bisa mengingatnya.
"Kenapa hatiku ikut sakit?" gumam Siera menyugar rambutnya kasar. Menekan dadanya yang ikut sesak.
"Jangan anggap serius Siera, itu hanya bunga tidur." Siera menyugesti diri jika itu semua hanya mimpi meski entah kenapa ia juga ikut merasakan sakitnya.
Tapi, kenapa air matanya menetes? Kenapa ia menangis? Siera segera menyeka air matanya. Bukannya berhenti, air matanya malah terus mengalir.
Pintu kamar terbuka, sosok Kalandra masuk dengan nampan di tangannya. Kalandra terkejut melihat Siera menangis, dengan buru-buru menghampiri sang istri dan meletakkan nampan itu di meja nakas.
"Sayang, kenapa menangis?" Kalandra duduk di sisi ranjang dan menangkup wajah Siera. Ibu jarinya menghapus air mata Siera dengan perasaan sakit. Ia tak suka jika Siera menjatuhkan air mata. Kecuali air mata kebahagiaan.
"Aku tak tahu kenapa menangis seperti ini, huhuhu," jawab Siera yang ia sendiri saja tak mengerti kenapa bisa begini.
Kalandra membawa Siera ke dalam pelukannya, mengusap punggung sang istri untuk menenangkannya. Perlahan tangis Siera berhenti, matanya memerah karena menangis lumayan lama.
"Sudah tenang?"
"Iya." Siera mengangguk.
"Kenapa tiba-tiba menangis? Mimpi buruk?" tanya Kalandra penuh perhatian. Bahkan Kalandra juga menguncir rambut Siera yang berantakan agar enak dipandang.
Semalam, tiba-tiba Siera terkena demam. Kalandra semalaman tak bisa tidur lelap karena menjaga istrinya.
"Aku tak tahu mimpi apa itu. Wajahnya buram, aku tak melihat jelas siapa dia. Tapi, dia terus mengatakan kata-kata membenci dan berkata orang itu telah merampas kebahagiaannya. Kenapa dia begitu membenci seseorang seperti itu? Apa yang dilakukan orang itu sehingga dia membencinya? Bagaimana bisa aku bermimpi seperti itu? Hatiku tiba-tiba sakit dan sesak, seolah aku yang merasakannya."
Tubuh Kalandra membeku dengan wajah kaku. Mendengar penjelasan Siera berusan, entah kenapa ia merasa ketakutan. Tak mungkin, bukan, Siera mulai mengingat masa lalu mereka?
Tidak!
Kalandra tak ingin Siera mengingatnya. Cukup dirinya saja, jangan sampai Siera juga mengingat semuanya. Kalandra pasti tak sanggup melihat tatapan kebencian Siera padanya. Kalandra tak bisa membayangkan jika di masa kini ia kehilangan Siera lagi.
Ia pun segera memeluk Siera dengan erat. Napas Kalandra tak beraturan, namun Siera tak menyadari kekalutan sang suami.
"Tak usah dipikirkan, itu semua hanya mimpi saja, bukan hal yang nyata." Kalandra berucap meyakinkan. Berharap Siera tak memikirkan tentang mimpinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐞𝐬𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐝𝐮𝐚
RomanceKebencian Kalandra pada Siera berawal dari kekuasaan keluarga Siera, sehingga mengharuskan mereka menikah. Terutama Kalandra, telah memiliki kekasih yang amat dicintai. Kebencian itu terus bertumbuh seiring berjalannya waktu dirasakan oleh Kalandra...