Ada beberapa alasan yang membuat Biru benci terlahir dalam keluarga ini. Salah satunya, kedua orang tuanya. Biru benci ketika melihat sang ayah terlalu sibuk dengan keluarga barunya tanpa memedulikan dirinya lagi. Biru juga benci ketika melihat sang ibu yang selalu merasa tidak puas akan kemampuannya dan terus membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang, kini menjadi tempat yang paling Biru hindari. Orang yang seharusnya bisa menjadi tempat ia berlindung, tempat yang seharusnya bisa ia jadikan tempat bercerita, kini justru menjadi tempat di mana ia mendapat banyak luka batin. Jika saja Biru bisa mengajukan satu permohonan pada Tuhan, ia akan memilih untuk tidak terlahir ke dunia.
"Biru, jangan lupa belikan telur sepulang sekolah nanti."
Biru menaikkan satu alisnya, "Kenapa aku? Kenapa gak nyuruh bang Abrisam aja?"
"Kasihan abang kamu. Dari kemarin dia, 'kan, mondar-mandir nyari kerjaan," jawab Shinta, menyerahkan uang sebesar dua puluh ribu rupiah.
"Selalu aja gitu. Padahal gue juga capek seharian belajar mulu buat menuhin ekspektasi bunda," batinnya.
Biru menghela napas panjang, dengan kasar menerima uang dari sang ibu kemudian berjalan keluar dari rumah. Melampiaskan rasa kesalnya dengan menendang kaleng minuman. Biru mengecek jam tangannya, sepuluh menit lagi bel sekolah akan berdering. Menyadari hal itu, ia mengayuh sepedanya lebih cepat. Tak ingin terlambat lagi seperti halnya kemarin.
Nasib baik masih berpihak pada dirinya, gerbang hampir menutup sepenuhnya saat ia sampai. Selesai memarkirkan sepedanya, tanpa diduga seseorang dengan kuat memukul bahunya.
"Juna, sekali lagi lo kagetin gue, gue habisin lo!" bentak Biru. Yang dibentak pun hanya bisa memamerkan senyum jahilnya.
"Hehe, sorry, sorry. Ayo, ke kelas bareng," ajak Juna merangkul Biru.
Biru sebenarnya ingin menolak, namun Juna terlanjur menyeret dirinya. Membuat pemuda itu hanya bisa pasrah tanpa sempat bertindak apa pun.
"Juna, ini cokelat buat lo."
"Makasi."
"Juna, kenapa bisa ada ciptaan Tuhan seganteng kamu?"
"Bisa aja lo."
"Juna mau gak jadi pacar aku?"
"Oke. Tapi sepuluh detik aja."
"Aku udah bawain bekel buat kamu, Juna. Jangan lupa dimakan!"
"Siap, ntar gue makan."
"Juna, nanti ke kantin bareng, yuk?"
"Boleh."
Biru memutar malas kedua matanya. Inilah alasan mengapa tadinya ia ingin menolak ajakan Juna. Kenalkan, salah satu sahabat terdekatnya yang memiliki akun Inst*gram dengan followers mencapai seratus ribu, Nalendra Ajuna Sadani. Panggil saja Juna. Namun, jika kalian ingin memanggilnya dengan sebutan 'sayang', Biru angkat tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Realize: Exchange | TXT
Fanfiction[END] Terlahir dalam keluarga yang kacau membuat Biru menilai jika kehidupan Sekala, Juna, Tara, dan Hesa selalu diwarnai dengan kebahagiaan. Dengan kata lain, Biru menganggap kehidupan mereka sangatlah sempurna. Meskipun menjalin tali persahabatan...