21. Masa Lalu Yang Terungkap

265 41 6
                                    

Biru tak henti-hentinya mengetuk dahinya menggunakan pena yang ia temukan di atas meja belajar milik Tara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru tak henti-hentinya mengetuk dahinya menggunakan pena yang ia temukan di atas meja belajar milik Tara. Ia terus teringat perkataan Zafran kemarin. Jika memang semua ini tentang waktu, lantas kapan? Kapan Biru berhenti berpindah ke dalam raga teman-temannya? Kapan semuanya akan berakhir? Biru hanya ingin tau.

Hari ini, Biru merasa tubuh Tara jauh lebih bugar daripada hari-hari sebelumnya. Ternyata, cuci darah sangat-sangat berpengaruh. Namun, mengapa Tara sering melewatkan jadwal cuci darahnya? Apa karena takut melihat darah? Biru rasa Tara bukan sosok yang penakut seperti dirinya.

Lamunannya terbuyarkan saat suara kenop pintu menyapa indera pendengarannya. Bulan berjalan santai memasuki kamar adiknya. Matanya dengan jeli memperhatikan satu persatu catatan kecil yang tertempel di meja belajar Tara, membolak-balikkan salah satu buku catatan Tara, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.

"Kalau gak salah, beberapa bulan lagi udah mau ujian kelulusan, 'kan? Aku liat-liat, kamu nyantai aja. Masuk kedokteran gak segampang yang kamu pikirin, Tara. Selain otak pinter, punya tubuh yang sehat itu juga penting. Makanya aku gak yakin kamu bisa sampai di tahap itu, kondisi kamu sekarang aja kayak gini."

Biru menaikkan salah satu alisnya, merasa jengkel dengan ucapan Bulan. Mengapa gadis itu meremehkan dan seakan-akan ingin menjatuhkan mimpi adiknya sendiri? "Kenapa gak yakin? Urusan sembuh atau nggak itu urusan Tuhan. Bisa jadi mbak duluan yang dipanggil sama Tuhan, gak ada yang tau."

"Kasar juga kamu, ya, sekarang." Bulan sedikit kesal mendengar hal itu. Namun, sebisa mungkin ia mencoba untuk tetap tenang.

"Dih, padahal lo yang duluan."

Bulan kembali melangkahkan kakinya menuju pojok ruangan, tempat di mana Tara menyimpan gitar pemberian sang ayah. Tangannya tergerak untuk menyentuh benda itu. "Ini gitar seharga 15 juta yang dibeliin papa buat hadiah semester lalu, 'kan?"

Biru terdiam karena memang tak mengetahui apa-apa. Tapi, dari nada bicara Bulan, Biru dapat merasakan jika gadis itu tak senang dengan hadiah yang Tara dapatkan. "Gak guna banget minta hadiah kayak gini. Mending uangnya buat biaya kamu berobat. Kalau ditotal, kamu udah habisin banyak uang tabungan papa sama mama. Nyusahin aja tau gak?"

"Mbak, kok, ngomong gitu? Tara itu adik mbak, loh." Biru kembali dibuat tak habis pikir dengan Bulan. Setega itu dirinya mengeluarkan kata-kata tanpa berpikir dulu apakah ucapannya akan menyakiti hati orang atau tidak.

"Sejak kapan?"

Kini atensi Biru sepenuhnya diambil oleh Bulan. Biru sangat yakin, hubungan Tara dengan Bulan sedang tidak baik-baik saja. Biru merasa Bulan berubah 180 derajat dibandingkan saat dulu mereka pertama kali bertemu.

"Eh, ada teman-temannya Tara. Ada apa rame-rame, nih?" tanya Bulan penuh senyum.

"Kita mau kerja kelompok, nih, kak," jawab Hesa.

[✓] Realize: Exchange | TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang