"Ternyata kita belum seterbuka itu satu sama lain, ya? Masih banyak rahasia yang tersimpan rapat. Tapi setidaknya, sekarang kita bisa saling jaga satu sama lain, dan gue harap Biru bisa cepet sadar."
Di luar sana, Biru mendengar dengan jelas seluruh percakapan Juna, Sekala, dan Tara tanpa terkecuali. Ia mulai mengepalkan kedua tangannya, berusaha sebisa mungkin untuk menahan tangisnya. Namun, rasanya sangat sulit. Matanya dengan lancang tetap mengeluarkan bulir air mata.
Setelah berhasil menetralkan tangisnya, Biru memantapkan diri untuk masuk. Menyadari kehadiran Biru yang mereka sangka Abrisam, Juna, Sekala, dan Tara segera menyapa.
"Malam, Kak."
"Kalian udah makan? Hm, bukan maksudnya ngusir. Tapi hari udah malam, besok sekolah, 'kan? Lebih baik kalian pulang aja."
Bukan bermaksud untuk mengusir ketiga sahabatnya Biru hanya tak ingin bertambah emosional bila harus berhadapan dengan mereka untuk saat ini. Terus terang saja, Biru mengakui jika ucapan Tara tadi tak sepenuhnya salah. Masih ada rasa canggung sehingga banyak rahasia yang tersimpan rapih di antara mereka.
Saat ini, suasana sepi mulai menerpa. Hawa dingin dari air conditioner yang menusuk kulit serta suara detik jarum jam sedikit menganggu Biru. Sesekali pemdua itu mengusap telapak tangannya, mencoba mencari sedikit kehangatan. Kepalanya tak henti-hentinya berpikir, mencari berbagai ide agar ia dapat kembali ke raganya.
Berbagai ide yang telah ia lakukan saat berada dalam raga sahabatnya tak satupun ada yang berhasil. Biru tau ini bodoh, tapi sempat terlintas di benaknya untuk melepas masker oksigen yang terpasang. Namun, Biru tak seberani itu. Lagipula, tak aja jaminan jika dirinya akan kembali ke raganya bila hal itu ia lakukan.
Setiap detik berlalu, setiap hari berganti, Biru semakin merasa takut setiap kali melihat tubuhnya terbaring lenah di atas ranjang. Menyadari jiwanya yang terus berpindah membuat Biru ragu dan was-was. Apakah masih ada harapan dirinya kembali berkumpul bersama Shinta, Abrisam, dan ketiga sahabatnya? Akankah ia bertahan? Terlalu tenggelam dalam pikirannya, tanpa sadar membuat Biru terlelap.
Tiba-tiba saja, Biru merasa tubuhnya menjadi lebih ringan. Saat memperhatikan sekelilingnya, Biru menyadari jika ia berada di halaman rumah Hesa. Mengapa dirinya bisa berada di sini secara tiba-tiba?
"Gue tau ini bukan salah Biru. Tapi, tetep aja gue kecewa." Biru menolehkan kepalanya ke arah belakang, mendapati kehadiran Hesa yang berjalan menghampiri dirinya. Akan tetapi, satu hal yang terjadi selanjutnya berhasil membuat Biru syok bukan main. Hesa, berjalan menembus tubuhnya.
"Kayaknya gue udah keterlaluan sampe nonjok Biru di cafe tadi. Gue harus minta maaf sama dia besok," ucap Hesa sebelum membuka pintu rumahnya. Di titik itu Biru menyadari sesuatu, dirinya berada di hari yang sama saat pertengkaran Hesa dan dirinya terjadi.
Baru saja melangkahkan kaki masuk, Renjana dengan kasar menarik kerah baju anaknya. Dengan mata kepalnya sendiri, Biru menyaksikan bagaimana Hesa diseret menuju kamar, dipukul, bahkan ditendang oleh sang ayah. Melihat bagaimana diamnya Hesa menerima semua itu, membuat air mata Biru perlahan menetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Realize: Exchange | TXT
Fanfiction[END] Terlahir dalam keluarga yang kacau membuat Biru menilai jika kehidupan Sekala, Juna, Tara, dan Hesa selalu diwarnai dengan kebahagiaan. Dengan kata lain, Biru menganggap kehidupan mereka sangatlah sempurna. Meskipun menjalin tali persahabatan...