18. Hampir Ketahuan

248 44 4
                                    

Shinta berjalan menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shinta berjalan menelusuri lorong rumah sakit dengan langkah pelan. Pandangannya tak bisa fokus, tubuhnya terasa begitu letih. Shinta sadar sepenuhnya bila tubuhnya sedang sakit. Namun, demam yang menyerangnya tak menghentikan langkahnya untuk memasuki ruangan Biru.

Memaksa tubuhnya untuk bekerja dari siang hingga sore hari, lalu menjaga Biru hingga pagi hari tiba kembali, wajar jika Shinta kelelahan. Sesekali ia memijat pelan pergelangan tangannya yang terasa pegal. Bahkan, setelah dioleskan obat pun rasanya tak ada yang berubah.

Ia berdiri menghampiri ranjang anaknya, perlahan menggenggam telapak tangan Biru yang terasa begitu dingin. Benar-benar dingin, seperti tak ada kehidupan dalam raga itu. Tanpa ragu, Shinta meletakkan tangan Biru di samping pipinya. Berharap anaknya bisa mendapatkan sedikit kehangatan.

"Biru, ayo, bangun. Gak kangen sama Bunda, sama abang?"

"Bunda tau, Bunda salah karena kurang perhatian sama kamu. Tapi, tolong, jangan hukum Bunda dengan cara ini. Bunda gak bisa."

"Janji sama Bunda, kamu harus bangun, ya. Kamu mau minta apapun pasti bakalan Bunda turuti."

Sejak perceraiannya dengan Abimanyu, Shinta memang mulai bersikap kurang peduli terhadap anak-anaknya. Rasa kekecewaannya karena dikhianati oleh Abimanyu, lebih sering ia lampiaskan pada Biru. Emosinya juga semakin tak stabil bila mengingat Abimanyu. Ujung-ujungnya, Shinta akan memarahi Biru.

Sedikit teringat masa lalu, saat Biru masih berusia 5 tahun dan Abrisam berusia 11 tahun, Shinta ingat dengan jelas betapa protektif dirinya kepada kedua anaknya.

"Kemarin lusa Biru, 'kan, udah makan es krim, nanti sakit kalo makan lagi. Bunda beliin besok aja, ya?"

"Ih, bunda gak seru! Ayah, Biru mau es krim!" Si bungsu tak ragu melapor pada sang ayah saat mendapat penolakan dari sang bunda.

Abimanyu sedikit tertawa melihat anak bungsunya merengek sembari memayunkan bibirnya. "Sayang, turutin aja kemauan Biru. Jangan dilarang, kita bawa mereka ke sini buat senang-senang, 'kan?"

Wanita itu beralih menggendong Biru. Mencubit pipinya pelan kemudian berkata, "Kamu, nih, ya, ngadu mulu sama ayah. Iya, deh, Bunda beliin. Tapi, gak ada es krim buat besok. Oke?"

"Oke!"

"Yah, Abang mau permen kapas, dong, boleh?"

Abimanyu tak ragu untuk menarik tangan si sulung ke tempat penjual permen kapas. "Mau beli berapa, Bang? Satu gerobak juga Ayah jabanin."

Abrisam tertawa, "Satu aja, Yah."

Ternyata, perceraian keduanya berdampak begitu besar. Tak hanya padanya, tetapi juga pada kedua anaknya. Seharusnya, Shinta paham. Sifat kedua anaknya yang jarang berada di rumah, menandakan jika Biru dan Abrisam tak pernah merasa betah. Kedua anaknya, tak memiliki 'rumah' untuk pulang.

[✓] Realize: Exchange | TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang