24. Masih Banyak Penyesalan

214 38 0
                                    

Biru membuka matanya perlahan saat suara ketukan pintu dan seruan Shinta yang mengajaknya untuk sarapan terdengar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Biru membuka matanya perlahan saat suara ketukan pintu dan seruan Shinta yang mengajaknya untuk sarapan terdengar. Sebelum membuka pintu kamar, Biru sempat berdiam diri di hadapan cermin selama beberapa saat.  Berada dalam raga Abrisam sejak malam tadi masih terasa begitu asing bagi Biru.

Setelah kejadian malam tadi, untungnya kondisi Tara baik-baik saja dan tak diharuskan untuk opname. Saat ini, masih belum ada yang tahu jika dirinya berpindah ke raga sang kakak. Biru memilih untuk merahasiakannya, ia hanya tak ingin menambah beban ketiga temannya lagi. Biru rasa, saat ini ia harus menyelesaikan masalahnya sendiri, meskipun ia sendiri ragu.

Kemarin, saat kepulangannya, Shinta sempat menarik pergelangan tangannya menuju arah ruang tamu. Raut sendu jelas terukir di wajah wanita itu. Biru juga merasakan jika tangan sang bunda terasa begitu dingin. "Abang, gimana keadaan Biru? Ada perkembangan?"

Biru menatap mata Shinta, lalu merengkuh tubuh bundanya agar dapat merasakan sedikit kehangatan. "Keadaan Biru masih sama, Bun. Belum ada perkembangan yang signifikan."

Air mata perlahan tumpah membasahi baju yang Biru kenakan. "Bang, Bunda rasa ini hukuman dari Tuhan buat Bunda," lirih Shinta memandangi satu-satunya foto mereka yang terpajang di dinding.

"Kenapa Bunda mikir gitu?" tanya Biru penasaran.

Shinta menghela napas panjang sebelum menjawab. Sebenarnya, sudah dari lama ia terus memikirkan hal ini. Dan untuk pertama kalinya, Shinta berani untuk mengeluarkan semua rasa penyesalannya. "Bunda mau Biru jadi juara kelas. Tapi, tanpa sadar Bunda bikin dia jadi terbebani. Di saat dia udah berusaha, dengan bodohnya Bunda gak kasih apresiasi atas kerja kerasnya. Bunda juga terlalu sibuk sama pekerjaan sampe jarang luangin waktu buat kalian."

"Dan yang paling bunda sesalin, waktu itu Bunda sempet bilang ke Biru, 'kalo kamu belajar terlalu keras nanti sakit. Nyusahin bunda lagi.' Sekarang Bunda baru sadar, Biru sama sekali gak nyusahin Bunda. Justru sikap Bunda selama ini yang nyusahin dia."

Mendengar penuturan sang bunda, Biru sedikit terperanjat. Tak menyangka jika kejadian yang menimpa dirinya akan berdampak seburuk ini pada Shinta. Dan dugaan Biru jika Shinta tak pernah peduli padanya terpatahkan saat itu juga. "Bunda, kok, ngomong gitu?"

"Tapi Bunda emang salah, Bang. Bunda dulu sering marah klo Biru berisik, teriak-teriak, tapi sekarang suara dia yang paling Bunda rinduin. Bunda janji, kalo Biru bangun, Bunda bakalan minta maaf dan lebih perhatian lagi sama dia. Sama kamu juga, Bang. Karena cuma kalian berdua yang Bunda punya sekarang."

Ya, semua perkataan Shinta masih jelas terngiang dalam benaknya. Sebisa mungkin, Biru menahan air matanya agar tak jatuh meluruh. Karena sebenarnya ia masih belum berani menampakkan wajah di hadapan Shinta.

"Bang, ayo, sarapan. Kamu harus kerja, 'kan? Habis ini Bunda juga mau ke rumah sakit," ucap Shinta membuka pintu kamar.

•  •  •

[✓] Realize: Exchange | TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang