O7. Surat Ancaman

311 44 0
                                    

Seakan tak puas menatap wajah yang ada di ponsel itu, Biru segera berlari menuju toilet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seakan tak puas menatap wajah yang ada di ponsel itu, Biru segera berlari menuju toilet. Saat dirinya menatap cermin, tak ada yang berubah. Pantulan yang ia lihat saat ini, persis dengan pantulan di kamera ponsel tadi.

Tangannya tergerak untuk mencubit lengan, bahkan menampar pipi Juna. "Ini, bukan mimpi, 'kan? Gue kenapa bisa ada di dalam badan Juna?" gumam Biru, benar-benar syok.

Satu hal terakhir yang Biru ingat, ia bersama sang kakak tengah berbincang bersama di kamarnya. Hanya sebatas itu, Biru sama sekali tak bisa mengingat apa-apa lagi. Bahkan dari pernyataan Sekala tadi yang mengatakan dirinya koma saja Biru tak ingat apa penyebabnya.

Biru masih mencoba mencerna semuanya. Mengapa hal seperti ini yang hanya bisa terjadi di dunia imajinasi bisa terjadi di dunia nyata? Lalu, raganya sekarang terbaring di rumah sakit tanpa jiwa? Dan yang paling membuat Biru penasaran, jika ia berada di dalam raga sahabatnya, lantas ke mana perginya jiwa Juna?

Lamunan Biru kemudian terbuyarkan karena suara pintu yang dibuka oleh Sekala. "Ayo, lo udah mendingan, 'kan? Pagi ini jadwal kita gantian jagain Biru," ajak Sekala.

Sesampainya di ruang rawat inap, Sekala bergegas masuk untuk menawarkan diri menjaga Biru. Shinta dan Abrisam yang kelelahan pun akhirnya memilih untuk pulang dan beristirahat.

"Nak Juna? Ngapain diem di sini?" tanya Shinta.

"Bang, lo gak apa-apa? Luka lo gak parah, 'kan?"

Abrisam yang mendengar hal tersebut mendadak terkejut. "Gue baik-baik aja. Perasaan lo udah nanyain ini semalem, deh."

"Kalo gitu gue masuk dulu," ucap Biru, takut jika sang kakak menyadari jika dirinya berada di dalam raga Juna.

"Sejak kapan Juna manggil kamu 'Bang'?" tanya Shinta heran.

Abrisam menyiritkan dahinya, "Gak tau juga, Bun. Lupain aja, ayo, pulang."

Di sisi lain dengan waktu yang sama, Biru diam membeku melihat raganya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan berbagai macam alat medis yang menempel. Kini Biru mulai berspekulasi jika dirinya mengalami kecelakaan, bahkan mungkin dilukai oleh orang asing. Karena tak bisa menahan rasa penasarannya lagi, Biru akhirnya memilih untuk bertanya pada Sekala.

"La, gue kenapa bisa sampe koma?"

Sekala menaikkan satu alisnya, "Gue? Perasaan semalem lo pingsan, deh. Gak sampe koma."

"Eh, iya. Itu maksud gue."

"Kemarin pas balik dari kantin lo tiba-tiba lari, kepleset, terus kena tumpahan kopi," terangnya.

Biru menggaruk tengkuknya, "Gue lari karena apa?"

"Lah, mana gue tau, njir," balas Sekala sewot. Bagaimana tak emosi? Sekala merasa jika orang di hadapannya ini bukan hanya pingsan, tapi sepertinya lupa ingatan.

[✓] Realize: Exchange | TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang