Di ruang tamu.
Setelah Ibu Baifa terbangun karena cubitan yang lumayan keras, dia duduk di kursi dengan wajah tanpa ekspresi.
Eka tanpa suara menunjuk ke arah Wilmana yang sedang mengusap lehernya.
Ayah Nino dengan rokok ditangan menatap tajam Wilmana. Dengan menghela nafas, dia akhirnya menenangkan aura menakutkannya dan berkata kepada Baswara yang sedang kikuk di pojok ruangan, "Kamu, pergi dan beri makan sapi-sapi itu."
"Ah...ya...beri makan sapi-sapi itu." Baswara tercengang.
"Oy, cepat pergi, makanan sapinya ada di tong hitam di dapur. Bawalah itu ke kandang sapi di belakang." Eka tahu bahwa Ayah Nino ingin bicara dengan keluarga ini, jadi dia mendesak Baswara keluar ruangan itu.
Baswara tidak tega meninggalkan Wilmana sendirian di situasi ini, tapi dengan senyum menenangkan dari Wilmana membuatnya mau tidak mau keluar juga dari ruang tamu itu.
Pada akhirnya, dengan rasa gelisah dan khawatir Baswara menuju dapur.
Wilmana mengamati wajah ibunya dan merasa ibunya itu sedang mencerna semua kejadian sebelumnya. Jadi memberanikan diri mulai berbicara,"Ibu, jangan marah."
"Bagaimana mungkin aku tidak marah?" Ibu Baifa menegakkan tubuhnya dan berkata, "Kamu...kamu...bersamanya...ketika semuanya sudah dilakukan..."
“Tidakkah kamu sudah melihat secara jelas apa yang telah dilakukan?”
"Kamu..." Ibu Baifa mulai merasa ingin pingsan lagi.
“Bu, tenang, tenang.” Eka dengan segera memberikan segelas teh hangat pada ibunya.
Ibu Baifa melambaikan tangan pada Eka kode terimakasih dan mengarahkan jari gemetarnya ke arah Wilmana "Kamu...kamu...bagaimana aku bisa membesarkan anak seperti ini...apakah kamu tidak tahu artinya menahan diri?"
"Bu, jangan terlalu khawatir, mereka sedang jatuh cinta dan sudah dekat saat ini..." Eka ingin membantu meredakan kemarahan dan situasi tetapi akhirnya dia takut oleh tatapan tajam Ibunya.
"Kamu itu anakku, bagaimana bisa kamu kurang memiliki kekuatan untuk menahan diri? Di zamanku, kamu pikir kamu masih bisa menikah?" Ibu Baifa memarahi Wilmana.
“Kalau begitu aku tidak akan menikah.”
Di jaman ibu, dipaksa melakukan perjodohan juga merupakan hal yang lumrah. Di jamanmu, anak yang tidak bisa menikah akan dianggap memalukan oleh keluarganya. Ketika Wilmana memikirkan hal ini, dia tidak bisa menahan amarahnya. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak membicarakan hal ini kembali kepada ibunya.
"Kamu..." Ibu Baifa terdiam.
"Bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu pada ibumu?" Ayah Nino yang belum pernah berbicara sampai sekarang, menjadi marah.
"Maaf." Cicit Wilmana menunduk menyesal.
"Lupakan!!, biarkan Baswara masuk dan tanyakan padanya kapan dia akan menikahimu." Ibu Baifa menghela napas pasrah sambil meletakkan tangannya di dada.
"Ibu tidak memarahinya lagi?" Eka terkejut dan mau tidak mau bertanya, “Apakah ini berarti ibu dan ayah menyetujui mereka berdua?”
“Adikmu sudah dibutakan cinta ..." Ibu Baifa tidak dapat menahan tangisnya. "Apa gunanya memarahi mereka? Kita sekarang hanya bisa berharap bahwa dia adalah orang yang bertanggung jawab. Bersikaplah baiklah pada adikmu saat kamu membayar mas kawinnya."
"Ibuu..." Eka terdiam, apakah ibunya hanya membebankan biaya mahar kepadanya?
Wilmana tidak pernah meragukan rasa sayang ibunya kepadanya, namun kesenjangan generasi, kesenjangan pendidikan, dan kepribadian mereka yang berbeda membuat mereka tidak pernah saling akur. Setiap kali ibunya menangis, Wilmana akan merasa sangat sedih dan bersalah. Bahkan ketika dia jelas-jelas tidak melakukan kesalahan apa pun, ibunya selalu melukai hatinya dengan menitikkan air mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Meeting to Married
RomansaBaswara yang telah ditolak lamarannya sebanyak 3 Kali dipertemukan dengan Wilmana didepan KUA yang juga dicampakkan kekasihnya sebelum mendaftarkan pernikahan keduanya.