Prolog

305 41 11
                                    

Prolog────── ⪩·⪨ ──────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prolog
────── ⪩·⪨ ──────

Jungwon yakin saat ini ia tak memiliki masalah pendengaran.

Namun ia berharap ucapan pria paruh baya di hadapan ayahnya itu salah.

Hari ini harusnya berjalan seperti biasa. Jungwon berlatih taekwondo, pulang, makan, belajar, lalu tidur. Tetapi sejak kehadiran pria paruh baya itu, mendadak situasi dojang terasa tegang.

Kini ketiganya duduk di sofa. Jungwon duduk di sebelah ayahnya, sedangkan pria itu duduk di hadapan ayahnya. Pria paruh baya itu mengenakan setelan jas dan jam tangan super mahal. Dari tampilannya saja Jungwon tahu kalau pria itu termasuk kalangan orang kaya.

"Apa tidak bisa diperpanjang dulu?" pinta Ayah Jungwon, suaranya terdengar pasrah.

Pria paruh baya itu menggeleng. "Tidak bisa. Sesuai kesepakatan, Anda harus melunasi utang atau dojang ini akan saya tutup paksa."

Jantung Jungwon mencelus mendengar ancaman si pria paruh baya. Ia sama sekali tidak tahu kalau keluarganya memiliki utang yang besar. Dan Jungwon tidak bisa membayangkan dojang yang sudah ada sejak ia lahir harus ditutup hanya karena utang.

"Memangnya keluarga saya ada utang apa?" tanya Jungwon kebingungan.

Pria paruh baya itu menoleh. Alisnya berkerut memandangi Jungwon.

Ayahnya menjawab, "Ayah dulu berutang kepada Keluarga Seo untuk membayar biaya rumah sakit Ibumu."

Jungwon jadi teringat saat ibunya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Saat ini ibunya sedang dirawat karena menderita penyakit diabetes tipe dua.

Pemuda itu sama sekali tidak tau jika ayahnya berutang. Bahkan ia diminta untuk tidak khawatir dan semua biaya sudah ditanggung dari hasil pendapatan dojang.

Tanah yang Jungwon pijak rasanya merekah terbuka dan menenggelamkannya. Harusnya Jungwon sebagai anak tahu bahwa orang tuanya sedang kesusahan. Harusnya ia berhenti bermain dan bekerja mencari uang untuk pengobatan ibunya.

Harusnya....

Jungwon merasa semakin bersalah karena sang ayah tampaknya akan merelakan dojang ditutup.

Ayah Jungwon menghela napas. "Kumohon berikan waktu 3 hari lagi. Saat ini uang dari dojang sudah habis untuk pengobatan istriku."

Ada jeda sejenak. Pria paruh baya itu menatap Jungwon lamat. Lantas ia berkata.

"Siapa nama anakmu?"

"Yang Jungwon."

"Dia lahir tahun berapa? Apakah anakmu jago taekwondo?"

Meski terasa aneh, ayah Jungwon tetap menjawab. "Dia lahir tahun 2004, dan cukup jago dengan taekwondo. Dia juga sudah sabuk hitam dan memiliki beberapa piala turnamen."

Si pria paruh baya mengelus dagunya—memikirkan sesuatu. "Oh, kalau begitu bagaimana jika Jungwon menjadi bodyguard anakku? Aku punya seorang anak perempuan dan dia agak ceroboh. Kalian juga seumuran."

Jungwon dan ayahnya menatap pria itu kebingungan.

Si pria paruh baya tertawa, "Maksudku, pelunasan utangnya melalui anakmu—" ia menunjuk Jungwon, "menjadi bodyguard anak perempuanku sampai lulus SMA."

Ayah Jungwon merasa enggan untuk membuat anaknya bekerja di bawah umur. "Begini, anakku masih sekolah. Aku masih—"

Tanpa pikir panjang, Jungwon menegaskan, "Mau. Aku mau jadi bodyguard-nya."

"Tapi kau masih sekolah!" protes ayahnya.

Si pria paruh baya tersenyum dan menyuarakan idenya. "Tidak masalah. Jungwon akan saya pindahkan ke sekolah anak saya, dan berada di kelas yang sama. Bisa, 'kan?"

Jungwon mengangguk mantap. Ia sudah yakin dengan keputusan ini. Ia ingin membantu ayahnya dan mengambil kesempatan ini agar dojang tidak jadi ditutup.

"Semua biaya pemindahan, buku, dan seragam akan saya tanggung. Dan sekarang mari kita buat kontraknya," jelasnya, lalu ia menelepon seseorang.

"Kau yakin, Won?" tanya ayahnya khawatir.

"Yakin, Yah. Toh, pekerjaanku cuma menjaga anak SMA, bukan artis atau pejabat," jawab Jungwon tenang.

Menutup teleponnya, si pria paruh baya tersenyum. "Baiklah, kontraknya sedang ditulis oleh sekretarisku. Dan aku punya dua syarat untukmu, Jungwon."

"Syarat apa?" tanya ayah Jungwon.

"Syarat pertama adalah awasi terus anakku, dan syarat kedua adalah jangan jauh-jauh dari anakku."

'Oh, cuma itu doang,' batin Jungwon.

"Bisa, Om. Saya pasti bisa melakukannya."

Sedikit yang Jungwon tahu, seharusnya ada satu syarat lagi, yaitu untuk tidak jatuh cinta dengan kliennya.

.
.
.

(next: Chapter 1)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(next: Chapter 1)

Dear DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang