Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chapter 6: "Silence Between Us" ────── ⪩·⪨ ──────
Ahrin masuk ke dalam rumah. Tubuhnya menggigil kedinginan di balik jaket Jungwon.
"Saya pulang dulu," ucap Jungwon.
Ahrin menahannya. "Ganti dulu baju lo."
"Gapapa, saya langsung pulang saja."
Ahrin menatap kesal, "Nggak! Seenggaknya keringin dulu badan lo. Bentar, gue cari baju yang pas buat lo."
Jungwon hendak menghentikannya. Tetapi telat, Ahrin sudah melenggang ke ruang lain. Tak sampai lima menit, Ahrin kembali sambil membawa beberapa pakaian.
"Nih, pake ini. Gue mau ganti baju dulu." Ahrin memberikan kaos putih, jaket hitam, dan celana jins hitam kepada Jungwon. Ahrin menunjuk sebuah ruangan. "Lo bisa pake aja kamar tamu di depan."
Ahrin naik ke atas kamarnya. Mandi, lalu mengganti pakaiannya dengan piyama ungu. Kini perutnya keroncongan. Ia menatap jam di dinding—jam delapan malam.
Turun dari tangga, ia melihat Jungwon yang sudah mengganti pakaian.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Gue laper. Ayo makan," ucap Ahrin.
Jungwon menatap bingung, lalu Ahrin berkata. "Lo juga ikut makan. Pasti laper kan? Ayo makan bareng."
Jungwon menuruti ucapan Ahrin. Lalu mengekorinya ke ruang makan. Interior ruang makan terlihat modern. Bahkan meja makannya luas dan panjang. Mungkin bisa menampung lebih dari sepuluh orang.
Keduanya duduk berhadapan. Satu per satu pelayan datang membawakan makanan. Makanan tersaji di atas meja mengepulkan uap panas. Nasi, sup sayur, kimchi, tumis daging sapi, dan lain-lain. Aromanya menguar, tercium lezat.
Keduanya mulai makan. Keheningan di rumah digantikan dengan dentingan sumpit dan mangkuk. Ahrin membuka suara.
"Won, apa sih alasan lo buat jadi bodyguard?"
Jungwon menelan makanannya lalu menatap Ahrin. "Keluarga saya berhutang sama Papa kamu."
Kemudian Jungwon menjelaskan semuanya, mulai dari ayah Ahrin yang mendatangi dojangnya hingga penawaran jadi bodyguard.
"Terus lo mau? Jadi bodyguard?"
Jungwon mengangguk. "Memangnya ada alasan lain saya menolak?"
Ahrin mengangguk paham. Ia lanjut memakan makanannya.
Melihat ekspresi Jungwon, Ahrin jadi sedih. Mungkin di luar Jungwon terlihat kuat, tetapi sebenarnya ia menanggung beban ekonomi keluarganya. Membayangkannya membuat Ahrin jadi semakin bersimpati.
Tetapi ada satu hal yang mengganggu pikiran Ahrin. Sejak kapan ayahnya peduli dengan hutang? Maksudnya, ayahnya sudah jadi chairman sekaligus arsitek terkenal. Satu proyek sudah bisa mengantongi milyaran won. Ahrin yakin di mata ayahnya, biaya rumah sakit itu tak seberapa.
Tetapi mengapa ayahnya repot-repot menagih dan datang ke dojangnya? Kalau punya waktu sebanyak itu kenapa tidak datang ke rumah...
Sedih menyesaki dadanya. Sudah berapa lama ayahnya tidak pulang? Ahrin menelan rasa sedihnya.
"Pulangnya nanti minta antar supir," ucap Ahrin yang lebih mirip perintah.
Jungwon menghabiskan makanannya. Ia memperhatikan Ahrin yang masih belum selesai makan. Matanya fokus menatap tiap gestur si gadis. Bagaimana cara gadis itu memegang sumpit, menepikan bagian lemak daging, dan betapa imutnya pipi Ahrin yang mengunyah makanan—tunggu, imut?
Tiba-tiba Ahrin memandangnya. Jungwon langsung mengalihkan pandangan. Seketika panas merambati pipi dan telinganya. Salah tingkah karena malu kepergok menatapnya. Untung Ahrin bersikap masa bodoh.
Mata Jungwon beralih pada pigura besar yang ada di ruang keluarga. Hanya dua orang dalam foto tersebut. Foto Ahrin dan ayahnya. Ahrin terlihat masih kecil.
Kini muncul sebuah pertanyaan di benak Jungwon.
Ke mana ibunya Ahrin?
Tetapi ia tidak berani menanyakannya.
———
Selesai makan, Jungwon pulang dari rumahnya.
Ahrin menutup pintu kamarnya. Bersandar di balik pintu. Kini ia frustrasi memikirkan permintaan Gyuvin dan alasan Jungwon jadi bodyguard-nya.
Jika dirinya memecat Jungwon, maka bagaimana cara Jungwon bisa membayar biaya rumah sakit. Ahrin tahu, biaya rumah sakit pasti mahal. Jika menggantungkan seluruh biaya rumah sakit dari les taekwondo, sudah pasti tidak cukup.
Namun di satu sisi, Ahrin tahu Gyuvin tak suka pada Jungwon.
Setelah berpikir beberapa menit, Ahrin menyimpulkan situasi Jungwon lebih penting daripada kecemburuan Gyuvin. Nanti aku jelasin ke Gyuvin, dia pasti mengerti...
Ahrin mengangguk, mengiyakan monolognya. Ia berjalan menuju kasurnya. Tangannya bergerak mengambil jaket yang tergeletak di lantai.