8. Empuk Dan Lembut

14.1K 59 1
                                    

Dengan hati bergejolak, Anto memberanikan diri untuk membuka pintu kamarnya. Begitu pintu berwarna coklat itu terbuka, langsung nampak senyum tipis di wajah Budhenya.

Wajahnya Erni memang menampakkan senyuman, tapi gestur tubuhnya yang berdiri tegap dan bersedekap membuat Anto merasa seperti ingin menghindarinya. Ketika datang, pakaian yang dikenakan Erni masih sama dengan yang dia pakai pada saat menonton TV. Yaitu daster batik warna coklat selutut.

Agak ragu-ragu Anto bertanya, "Ada apa Budhe?"

Masih dengan senyum khasnya Erni berucap lirih. "Gak ada apa-apa. Main aja. Gak boleh?"

"Boleh kok Dhe."

"Boleh kok Budhe gak disuruh masuk."

"Eh iya Budhe, masuk aja." Anto bergegas memberi jalan Budhenya untuk masuk.

Saat melewati badannya Anto, Erni memberi perintah, "Tutup pintunya." Begitu pintu sudah tertutup dan Anto mengekor di belakangnya, Erni bertanya, "Kok gak pake baju?"

"Eng... gerah Budhe."

"Kipas anginnya rusak?"

"Enggak."

"Hm."

Erni mendudukkan pantat bahenolnya di tepi ranjang. Bersamaan dengan itu, Anto mengambil kaosnya yang tergeletak di atas kasur. Alih-alih mengenakan kaos itu untuk menutupi bagian atas tubuhnya, Anto malah mengunakan kaosnya itu untuk mengelap keringatnya yang bercucuran.

Erni menatap wajah Anto yang berdiri di samping kanannya. Tatapan itu terkesan menghakimi Anto. Dia lantas mengalihkan pandangan ke depan. Dengan nada santai Erni berujar, "Kenapa celananya gak dilepas sekalian?"

Anto tersenyum kaku mendengar pertanyaan dari Budhenya. "Eng... enggak Budhe."

Erni meremas-remas tangannya sendiri. "Kenapa celananya gak dilepas?!" Kembali Erni bertanya kali ini nadanya terdengar lebih tegas. "Biasanya telanjang to?"

'deg!' Anto merasa dadanya seperti tersengat aliran listrik lalu menjalar ke seluruh tubuh. Bocah yang dalam posisi berdiri dan hendak memakai kaosnya itu jadi mengurungkan niatnya. "Eh. enggak pernah kok Budhe."

"Gak usah bohong. Sini, duduk sebelah Budhe." Erni menepuk-nepuk ranjang tempat dia duduk dengan tangan kanannya. "jangan berdiri aja kayak punyamu itu."

Anto melihat ke arah selangkangannya. Meskipun burungnya dalam kondisi lemas, tapi berhubung dia tidak memakai celana dalam dibalik boxer-nya, maka bagian itu nampak sedikit menonjol. Tanpa menunggu perintah dua kali, serta untuk menutupi rasa malu, Anto segera duduk di samping Budhenya. Seketika Bocah itu mencium aroma segar menguar dari tubuh Budhenya.

"Jadi?" tanya budhe Erni singkat.

"Apa Budhe?" Anto tertunduk lesu.

Erni menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara berlahan. "Bener to, kalau kamu itu tiap malem suka telanjang di kamar?"

"Siapa yang ngasih tahu Budhe?"

"Budhe liat sendiri."

Anto melihat wajah Budhenya seolah dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Liat sendiri? Kapan?"

"Hampir tiap malam."

"Tiap malam?" Melihat Budhenya yang nampak marah, Anto kembali menunduk.

"Ya. Tiap malam. Sudah lama Budhe rasain kamu itu ndak pernah betah kalau ngumpul sama yang lainnya di depan tv. Malah sudah beberapa hari ini, kamu ndak pernah lagi ngumpul sama yang lainnya. Habis makan langsung naik ke kamar. Budhe jadi khawatir. Budhe takut kamu kenapa-napa. Mungkin kamu gak betah tinggal di sini, atau kamu marah, atau kamu sakit, ah ... Budhe jadi gak bisa tidur gara-gara mikirin kamu le." Erni lantas meremas pundaknya Anto dan sedikit menggoyangkan tubuh keponakannya itu.

Gairah Si Anto (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang