Setelah perbincangan singkat dengan ibunda Bulan, akhir-akhir ini Barra menjadi sering melamun. Perkataan Estira yang akan menjauhkan anaknya dari orang yang melakukan judi terus terngiang-ngiang di otaknya selama 1 minggu penuh ini.
Tida menit tanpa memikirkan ucapan ibunda Bulan tersebut. Pasalnya sekarang dia semakin dekat dengan keluarga Bulan, dan dia takut jika keluarga gadis itu sampai mengetahui pekerjaanya yang lain.
Dia tidak mau dan tidak akan pernah mau jika sampai dijauhkan dengan Bulan. Dia cukup sadar, dengan badannya yang hampir penuh dengan tato ini, keluarga gadis itu masih menerimanya dengan senang hati tanpa menghiraukan lingkungan mereka yang menge-cap buruk orang yang bertato.
Sekarang jam masih menunjukan pukul 5 sore, namun Barra sudah ingin cepat-cepat kembali ke apartementnya. Rasanya semakin hari, perasaanya menjadi gelisah dan takut akan perkataan Estira minggu lalu.
"Balik yok," ajak Barra lesu sembari bersandar pada kursi kerjanya.
"Gilak lo Barr, masih jam kerja ini, lo kenapa sih? makin hari bukannya makin ayem malah keliatan gelisah, lo kan udah dapet pemasukan lebih," sahut Vano mendengus kesal melihat temannya itu.
"Ya itu masalahnya," cletuk Barra membuat Vano mendelik.
"Lah gimanasih, kan lo dari awal udah setuju, kenapa sekarang jadi gini?" ngegas Vano akibat kelabilan Barra.
"Ah udahlah, bingung gue jelasinnya," balas Barra lalu mengacak rambutnya frustasi.
"Yaudah, mending lo tenangin diri dulu lo deh, noh mending ntar malem clubbing aja. Ya gak?" sahut Vano sedikit mengeraskan suaranya pada bagian club, dan ya gak.
"YESSS BETUL BANGET, YOK CLUB-CLUB," sahut seorang pria yang ada disamping kubikel Vano.
"Clubbing? Ikut dong, ikut!!!" heboh wanita yang sedang mengeroll rambutnya.
"Gue ikut juga dong," cletuk wanita yang paling anggun di seantoro kantor bernama Syeka.
"GASSS!!!" balas Vano dengan semangat.
Akhirnya setelah menunggu 5 jam, waktu pulangpun tiba. Sekitar 7 orang, termasuk Barra dan Vano, mereka memasuki Club yang terkenal di seluruh ibu kota Bangkok.
Setibanya mereka di sana, Vano langsung memesankan vodka dan wishkey untuk teman-temannya. Tanpa menolak, Barra mulai meminum vodka yang telah dipesankan Vano tadi. Tidak hanya Barra, namun juga Vano, dan Syeka juga ikut menikmati minuman itu.
Sedangkan ke empat temannya yang lain tengah asik berjoget ria di atas floor dance tanpa rasa malu. Barra tersenyum tipis melihat teman-temannya yang tampak bahagia. Di tengah-tengah kesadarannya yang masih utuh, malam ini Barra memutuskan untuk melupakan perkataan Estira yang terus menghantui hidupnya.
Setelah menghabiskan 1 botol vodka, toleransi alkohol Barra mulai menurun. Kesadarannya mulai terenggut, digantikan dengan ilusi-ilusi yang muncul di depan matanya. Di depan matanya seperti muncul wajah Bulan yang selama ini belum pernah dia temui secara langsung.
"Cill...gue pengen ketemu lo tau...kangen..." racu Barra sembari tersenyum memandang wajah Bulan yang ada di depannya.
Sedangkan Vano yang masih sadar secara full, dibuat melongo mendengar racuan Barra. Apa katanya? kangen? Apakah dia tidak salah mendengar? Jika temannya yang sering disangka belok karena sedikit slay ini sudah berani kangen-kangenan dengan perempuan.
"Gue takut tau cill, kalo bunda tau kerjaan gue yang lain, nanti gue dijauhin sama lo lagi," ujar Barra lesu.
Vano menjadi semakin melongo saat mendengar kaliat Barra selanjutnya. Oh ternyata ini alasan temannya ini jadi sering melamun tak jelas. Karena keadaan Club semakin ramai, Vano bergerak mengajak teman-temannya untuk kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ocean & Engines (END)
Genç Kız Edebiyatı"Damn! I hate you, but I can't ignoring you" Iya, dia lah Barra. Pria matang yang malah jatuh hati dengan bocah ingusan yang baru duduk di bangku SMA. Terdengar gila. Namun ini lah nyatanya. Mari simak kisah dua orang yang belum tentu menjadi sepasa...