👉[٠٣٧]👈

52 3 0
                                    

Happy reading and enjoy!
Hati-hati typo!



Suara deru motor terdengar mendekati mereka. Rupanya itu adalah teman-teman Farhan yang datang. Beberapa pria turun dan bergegas untuk membantunya.

"Farhan, apa yang terjadi sama Lo?" Mereka semua panik mendapati Farhan yang tengah memangku gadis dalam keadaan yang bisa di bilang sangat buruk.

"Farhan, Lo gak papa?" tanya Ryan salah satu dari mereka.

"Gue gak masalah, cepat bawa dia ke rumah sakit." Bersyukur dari mereka ada yang membawa mobil sehingga Sasa dengan cepat di larikan ke rumah sakit.

Sesampainya mereka di rumah sakit Farhan menggendong gadis yang wajahnya sudah sangat pucat itu. Banyak perawat di sana yang membantunya menidurkan di atas brankar.

Sasa di larikan ke UGD semua orang di larang ikut masuk kecuali petugas medis. Farhan pun hanya dapat pasrah dengan menunggu di luar bersama teman-temannya yang sebelumnya ikut mengantar.

"Thanks, Seandainya kalian gak dateng mungkin gue udah kesusahan," ungkap Farhan kepada semua teman lamanya.

"Itu kewajiban kami saling membantu," ujar Galen seraya menepuk-nepuk sebelah bahu Farhan.

"Btw, ada kejadian apa sampai itu cewek berlumuran darah gitu?" tanya Bonda yang sedari tadi di hantui rasa penasaran. Farhan merenung sejenak memutar kembali kejadian beberapa jam lalu yang terasa secepat kilat.

"Tabrak lari, saat itu gue nyebrang duluan dan Sasa masih di belakang tiba-tiba ada mobil sedan warna hitam tanpa plat nomor nabrak Sasa dan pelakunya kabur," terangnya sembari menatap pintu UGD yang masih tertutup.

"Gila, gak bertanggung jawab banget itu orang. Tuli kali matanya gak liat ada orang lagi nyebrang," ujar Bondan.

"Buta, Bon buta. Tuli itu gak bisa dengar. Ketauan nih sekolah cuma absen terus cabut," ucap Dirja kepada Bonda sedangkan ia hanya menampilkan cengirannya.

"Kagak usah nyengir gigi lo karatan," tukas Firman yang langsung membuat mata Bondan melotot tak suka.

Lama menunggu akhirnya pintu terbuka dan menampilkan seorang pria tua yang di yakini sebagai dokter. Sontak Farhan segera beranjak dan mendekatinya.

"Keluarga pasien?" tanya sang dokter padanya. Farhan diam sejenak ragu untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"Saya temannya, dok. Keluarganya sebentar lagi datang. Gimana keadaan teman saya?" jawab Farhan setelah tadi berpikir.

"Keadaannya saat ini jauh dari kata baik. Pasien kekurangan banyak darah tapi maaf sekali rumah sakit kami tidak tersedia golongan darah yang sesuai dengannya. Jadi, dimohon pihak keluarga untuk mencarikan pendonor yang tepat dengan golongan darah pasien."

щ⁠(⁠゜⁠ロ⁠゜⁠щ⁠)

"Dina, Ayu, kenapa pergi sih? aku belum puas adu mulut sama dua anak itu," ucap Imah marah sebab Dina dan Ayu yang membawa mereka pergi dari hadapan Revi dan Mely. Alhasil kekesalan mereka belum sepenuhnya tuntas.

"Aku juga masih jengkel sama mereka, rasanya pengin cakar-cakar mukanya yang songong kayak nenek lampir," timpal Zia berusaha menormalkan jantungnya yang naik turun.

"Teman-teman dengar, percuma kalian melakukan pembalasan sama mereka buang-buang waktu. Biarkan saja Allah yang membalas perbuatan yang pernah dia lakukan," ujar Dina berusaha memberikan pengertian kepada sahabatnya, Ayu pun mengangguk setuju atas ucapan Dina.

"Sabar saja, kita gak perlu capek membalas mereka. Biarlah hukum alam yang bekerja," timpal Ayu menambahi.

"Ya Allah semoga Revi dan juga Mely dapat balasan yang setimpal aamiin," ujar Vivi seraya menengadahkan tangannya.

"Lihat saja mereka berdua pasti dapet karma," celetuk Tia menyangga kedua tangannya di pinggang.

"Di panggil Fauzia dari anggota pengurus keamanan di tunggu kedatangannya di kantor pondok segera!" Mendengar suara seperti itu sontak mereka semua diam lantas menatap Zia yang namanya terpanggil.

"Zi, di panggil kamu," ucap Vivi.

"Aku kesana dulu ya." Zia segera pamit karena khawatir ada sesuatu penting.

Hari ini tidak ada jadwal mengaji sore dan waktu seperti saat ini mereka gunakan untuk bersantai sembari memakan camilan adapula yang tengah sibuk membuka  kitab-kitab untuk di pelajari kembali apa yang sudah di pelajari di sekolah.

Ketika suasana tengah di selimuti keheningan Zia datang  dalam keadaan menangis napasnya pun tidak beraturan dan itu mengundang tanya bagi semua temannya. Mereka semua berlari menghampiri gadis yang sudah berlinang air mata.

"Astaghfirullah kamu kenapa, Zia?" tanya Tika segera merangkulnya namun tangisannya semakin deras.

"Sasa kecelakaan," terangnya membuat semuanya terkejut tidak percaya.

"Kamu jangan bohong, Zi. Sasa itu lagi di rumah umi, aku yang terakhir piket bareng dia," ujar Ayu membantah karena memang sebelumnya ia bersama Sasa tetapi dirinya teringat mereka sudah berpisah sejak tadi siang.

"Ustadzah Ami yang bilang. Sekarang umi dan semua ustadzah sudah pergi ke rumah sakit," jawabanya lagi dengan suara yang lemah tak kuasa membendung air matanya.


ತ⁠_⁠ತ

Dengan raut tergesa-gesa dan peluh yang terus membanjiri keningnya Farhan mencari seseorang yang kini sangat ia harapkan untuk membantunya. Remaja itu kembali ke pesantren dan langsung menyusuri seluruh halaman.

"Putra!" Sang empunya nama merasa terpanggil dengan suara yang sangat familiar. Farhan segera menghampiri kedua sahabatnya di sana juga ada Arul.

"Dari mana aja lo? asal Lo tau gue sama--"

"Stop, tunda dulu ngomelnya. Sekarang Lo harus bantu gue, harus mau karena gue maksa." Putra mengerutkan keningnya apa maksud Farhan yang membutuhkan bantuannya.

"Apa-apaan lo, pergi gak di anter datang gak di undang terus tiba-tiba minta bantuan. Maksa pula," ucap Putra menatap Farhan.

"Lo butuh apa, Farhan." Kini Arul yang mengeluarkan suara sebab sedari tadi ia memerhatikan Farhan seperti betul-betul membutuhkan pertolongan.

"Sasa kecelakaan--"

"Apa?" Arul juga Putra spontan kaget.

"Sekarang gue berharap lo mau bantu gue, Put." Farhan menatap satu sahabatnya dengan penuh harap.

"Gue, kenapa harus gue?" Putra menunjuk dirinya sendiri karena bingung.

"Karena golongan darah lo cocok untuk Sasa," paparnya.

"Gue gak paham, Han." Farhan berdecak kasar, memang susah bertukar otak dengan orang yang otaknya sekecil udang.

"Sasa butuh donor darah dan golongan darah dia A Rhesus negatif. Lo pernah bilang kalau golongan darah lo juga A Rhesus negatif. Jadi, gue mau lo rela donorin separuh darah lo buat Sasa." terang Farhan dengan napas yang menderu karena ia berbicara dalam satu tarikan napas.

Putra seketika diam tak bergerak secuil pun matanya menyorot lurus tanpa ekspresi. "Sorry gue gak bisa bantu lo kali ini, Han."

Jawaban macam apa ini di luar harapan. Jika Putra tidak mau maka harus kemana dirinya mencari sang pendonor ia harus bisa membujuk Putra. Farhan menatap sahabatnya lekat.

"Gue bakal turuti kemauan lo tapi, gue mohon Lo mau jadi pendonor. Harapan gue cuma lo satu-satunya," ujar Farhan pantang menyerah.

"Alasan gue nolak, karena gue takut jarum suntik, Han," ungkapnya memberi tahu alasan ia tidak mau menolong Farhan. Bahkan memasuki area rumah sakit saja Putra enggan apalagi membayangkan jarum suntik menembus kulitnya.






Thanks for reading!

Jangan lupa vote and spam comen!

Babay, sampai jumpa di next chapter 🤗

THE SANTRI {On-Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang