👉[٠٢٩]👈

302 35 13
                                    

Happy reading<3
Tandai typo!!


Di kelas enam tepatnya pada gedung putra. Ustadz Amar tengah membagikan hasil nilai ulangan harian minggu lalu. Siap-siap bagi murid yang nilainya di bawah KKM akan mendapatkan hukuman dari sang ustadz, itu sudah menjadi kebiasaan.

"Anjir... Ini kenapa ada telor buwung puyuh," seru Putra ketika melihat nilai hasil ulangannya yang jauh dari kata bagus.

"Rul, nilai lo berapa?" tanya Putra pada Arul di sampingnya.

"Jelek!" jawabnya tanpa menoleh sedikitpun.

"Gue nanya nilai, bukan standar muka lo," tukas Putra.

Sontak Arul yang mendengar memalingkan wajahnya menatap tajam sahabatnya itu.

"Sialan," maki Arul pada Putra sungguh pria itu membuatnya jengkel. Ia lagi tak ingin beradu argument maka dari itu Arul hanya mengumpat.

Sedangkan Farhan sendiri tersenyum puas sembari memandangi kertas hasil kerja otaknya. Dia mendapatkan nilai sembilan puluh tujuh. Itu artinya dirinya aman dari hukuman ustadz Amar.

"Yang nilainya di bawah KKM, maju ke depan!" instruksi ustadz Amar kepada seluruh murid yang sedang berkerumun.

Mau tak mau karena angka nilai Putra kurang dari target. Dirinya melangkah maju ke depan menghadap ustadz Amar. Rupanya bukan hanya Putra namun, Arul pun mengikuti jejak Putra menghadap sang ustadz.

"Ayok siapa lagi? Cepat maju ke depan," pekiknya sembari menggebrak meja hingga suaranya terdengar sepenjuru kelas.

Dirasa sudah tak ada lagi yang menyerahkan diri dan yang akan mendapat setrap hanya dua anak yakni, Putra dan Arul.

"Hukuman apa, yah. Yang pantes untuk kalian berdua." Ustadz Amar menatap ke atas seraya jemarinya mengetuk-ngetuk dagunya. Seperti sedang berfikir.

Selang berikutnya senyuman terbit di bibirnya saat sebuah ide terlintas di otaknya. "Kebetulan genteng kandang bebek dekat rumah pak kyai bocor. Nah, kalian benerin yah."

Seketika pupil mata Arul dan Putra membulat sempurna, terkejut dengan apa yang di katakan ustadz Amar barusan.

"Enggak ada yang lain apa, ustadz?" protes Arul sedikit tidak terima.

"Tau nih, ustadz. Biasanya juga minta paraf banat doang," timpa Putra juga.

Ustadz Amar mendelik tajam. "Itumah maunya kamu. Biar bisa godain santri putri," jawaban beliau tepat sekali pada sasaran.

Beliau sudah hafal sekali watak mereka yang pasti akan memanfaatkan keadaan jika keduanya di beri hukuman tersebut.

"Udah, jangan banyak protes. Sana cepet kerjakan!!" suruhnya sekaligus mengusir.

Dengan malas Arul juga Putra pergi menuju rumah sang kyai untuk memenuhi hukumannya saat ini. Begitu sampai di lataran rumah kyai keduanya melihat beliau tengah memberi makan peliharaan bebek serta ayam-ayamnya.

"Assalamualaikum," ucap mereka berdua bersamaan.

"Ehh. Waalaikumussalam," jawab pak kyai Ma'aruf yang tampak terkejut akan kehadiran santrinya. Arul dan Putra menyalimi punggung tangan sang guru.

"Ada apa, nak?" tanya pak kyai kepada Arul dan Putra.

Dua laki-laki itu saling senggol untuk menjawab pertanyaan sang kyai. Karena gugup tak terbiasa berhadapan langsung dengan pengasuh pondok pesantren itu.

Sampai akhirnya Arul membuka suara. "Kita di perintahkan ustadz Amar, untuk membenarkan atap kandang bebek yang roboh."

Mendengar itu pak kyai tersenyum senang. "Iya silahkan, hati-hati ya!" ucap pak kyai setelah itu pergi membiarkan dua santrinya itu bekerja.

Putra menaiki atap kandang itu yang ukurannya cukup tinggi, sementara Arul yang memegangi tangganya supaya Putra tidak jatuh.

Lama kelamaan tangan Arul mulai pegel karena Putra tak kunjung selesai.

"Cape?" Entah dari mana asalnya tiba-tiba Farhan sudah berdiri di samping Arul.

Alis Arul terpaut, wajahnya menampakkan raut keterkejutan. "Kok, Lo bisa di sini? Emang udah istirahat?" tanyanya seraya melirik arloji di tangan kanan. Namun, waktu belum menunjukkan jam istirahat.

"Bolos!" tukas Farhan singkat, sudah tak asing lagi dengan kata itu. Bahkan secara terang-terangan mereka bisa bolos seperti ini. Apalagi Farhan, jagonya madol.

"Akhh!!" Dari atas genteng Putra menjerit seperti orang kesakitan, mendadak Arul dan Farhan yang ada di bawahnya pun sedikit khawatir.

"Putra, kenapa Lo?" pekik Arul menghadap ke atas.

"Sshhh... Sialan, kaki gue ketusuk paku berkarat," jawabnya tak kalah kencang.

"Hah? Seriusan Lo?" tanya Arul lagi yang sedikit tidak percaya

"Seriusan, anjing!" maki Putra kesal, pasalnya dia tengah menahan sakit sehabis menarik paku yang menancap di telapak kakinya.

"Yaudah, mending lo cepetan turun!" perintah Farhan yang sedari tadi melihat.

Segera Putra mulai menuruni tangga kayu secara perlahan. Cairan merah pula menetes dari telapak kakinya, sesampainya di bawah Farhan dan Arul sigap memapah Putra membawanya ke pinggir.

Darah kental terus saja keluar tak ada hentinya, hingga celana yang di kenakan putra mengenai bercakan merah itu.

"Sshh... Darahnya banyak banget anjir. Bisa-bisa dalam tubuh gue kekurangan darah," ucap Putra lebay membuat Farhan dan Arul saling menatap.

"Lebay lo!" cetus Farhan.

"Beneran bego, lo belum tau ajah golongan darah darah gue itu A Rhesus negatif. Susah dicari!!" timpal Putra kembali.

"Tar, gue salurin darah monyet sekalian. Kan lo satu spesies," ucap Arul.

Farhan mencari seutas kain yang tak lagi terpakai guna mengikat telapak kaki Putra. Setelah sempurna terikat akhirnya darah kental itu berhenti keluar.

-ᄒᴥᄒ-

"Tarqib idhofah, dimana mudlof dan mudlof ilaih menyebabkan hubungan dan tak boleh di tanwin. Karena, tanwin menunjukkan perpisahan!"

Dina tengah serius belajar bersama Gus Ilham untuk persiapan lomba kitab kuning yang insha Allah akan di laksanakan Ahad besok.

Dengan sabar Gus Ilham mengajarkan apa yang belum Dina ketahui.

"Sampai sini paham?" tanyanya pada Dina yang sedari tadi menyimak ucapan Gus Ilham.

"Paham," jawab Dina mantap. Gus Ilham tersenyum puas melihat gadis itu yang terlihat begitu tekun dalam belajarnya.

"Kalau gitu, Dina boleh ke kamar?" ucap Dina sembari membereskan lembaran-lembaran kertas berwarna kuning bertuliskan huruf Arab tanpa harakat.

Gus Ilham tersadar dari lamunannya. "Boleh kok," jawabnya seraya memanggutkan kepala.

Lepas berpamitan Dina bergegas menuju kamarnya sebab waktu sudah mulai senja dan dirinya belum sempat mandi.

"Assalamualaikum," Suara Dina mengucapkan salam ketika masuk ke kamar zahratun Jannah.

"Waalaikumussalam!" jawab teman-temannya yang terlihat tengah berkumpul membentuk lingkaran.

"Ada apa ini, tumben musyawarah?" kata Dina sebab tidak biasanya seperti ini. Dan juga melihat wajah-wajah para kawannya yang pada lesu tak bersemangat.

"Uang kas hilang, Dina!!" ucap Zia mewakili.






Thanks for reading!

Jangan lupa vote and coment ya!!

Babayy, Sampai jumpa di next chapter 🤗

THE SANTRI {On-Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang