32. karma

195 25 9
                                    

.

.

.

Bel pintu kafe berbunyi.

Windi langsung menoleh ke arah pintu. Senyumnya langsung merekah, orang yang dia tunggu akhirnya datang. Pria itu langsung duduk dihadapannya dengan ekspresi wajah yang datar.

"Ada apa?" tanyanya langsung.

"Ini, ada hadiah dari orang tua aku-" kata Windi sambil menyodorkan paperbag berisi bolu.

Pria itu— Satya, menerimanya dengan ekspresi yang sama, bahkan kali ini lebih terkesan ogah-ogahan. "Cepetan, ada apa?"

Mendengar Satya yang mulai ngegas, Windi terdiam sebentar. Merasa tidak enak untuk mengucapkannya. "Papa sama Mama aku nanyain terus, kapan kamu mau serius sama aku?"

Satya mendecih. "Emang aku pernah bilang bakalan serius sama kamu?"

Lagi-lagi Windi terdiam. Laki-laki didepannya benar-benar hampir menghancurkan harapan, perasaan, dan juga hatinya. Memang apa susahnya serius?

"Tapi kita udah ngejalanin hubungan ini tiga tahun!" Mata Windi mulai berkaca-kaca. "Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar, Satya!"

"Ck, apapun itu pokoknya kita gak bakalan bisa lanjut!" Satya kelepasan memukul meja. Menarik perhatian pengunjung cafe.

Tersadar karena menjadi pusat perhatian, Satya menghela napas berat. "Dengar, aku udah mikirin ini selama seminggu. Dan aku yakin, aku udah kena karma." Satya memelankan suaranya.

"Ma-maksudnya?"

"Kamu pasti gak bakalan lupa kalo aku sama Sano pernah ada hubungan."

"Terus?" Windi mencoba denial dengan kemungkinan yang ada.

"Terus? Aku yakin kamu tau apa kelanjutannya. Aku suka sama Sano."

Bak mendengar musibah, pertahanan Windi langsung runtuh. Dia menangis tanpa suara. Hancur sudah harapan, perasaan, serta hatinya. Bagaimana jika nanti orang tuanya menanyakan hubungannya dengan Satya?

Apa alasan yang bisa dia berikan ketika orang tuanya menanyakan kenapa putus?

Meskipun menyebalkan di mata orang, Windi bukanlah tipikal anak yang mudah berbohong kepada kedua orang tuanya.

"Apa, aku gaada harapan lagi?" dengan terisak Windi bertanya.

Melihat Windi, Satya sebenarnya iba. Tapi ini keputusannya yang sudah bulat. "Maaf Windi, aku udah berada di jalan yang berbeda. Kita gak bakalan bisa bareng lagi. Aku pergi."

Tepat setelah mengatakan itu, Satya pergi meninggalkan bolu tadi. Serta secangkir kopi latte yang telah mendingin, yang menjadi saksi bisu betapa hancurnya hati seorang Windi Jayusa Raya.

 Serta secangkir kopi latte yang telah mendingin, yang menjadi saksi bisu betapa hancurnya hati seorang Windi Jayusa Raya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







Sano menunggu cemas diluar ruangan bersalin. Tak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. Tangisan bahagia yang dialami Sano. Berkali-kali hatinya mengucapkan syukur kepada Tuhannya, berkali-kali juga bibirnya mengucapkan kalimat takbir.

Dokter keluar dari ruangan bersalin, Sano segera menghampiri.

"Selamat, bayi Anda perempuan. Dan keadaan bayi maupun ibunya sehat."

Dokter itu menjabat tangan Sano. "Alhamdulillah, makasih dok, udah nolongin istri dan anak saya. Saya, boleh masuk?"

Dokter itu mengangguk dan senyum. "Silahkan, adzan kan anak Anda."










***

Ueueueueueu, anaknya udah lahir ges!

Shirāthâl Mustaqīm || Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang