Sanya serius menceramahi Sano dengan banyak pengertian tentang menjadi manly yang sesungguhnya. Dimana seorang laki-laki tidak akan pernah membuat ibunya kecewa.
"Sekarang gue tanya, mama lo pernah ngajarin untuk dendam sama seseorang?"
Sano terdiam.
Tanpa mengingat pun, Sano masih ingat jelas semua kenangan bersama mamanya, bahkan semua nasihat yang diberikan kepadanya. Dan memang, tidak ada satupun perkataan mamanya yang menyuruhnya untuk balas dendam. Meskipun orang itu benar-benar berkelakuan jahat.
"Balas dendam jika dilakukan, gak bakalan selesai. Kamu mungkin ngira balas dendam, kamu bakalan puas. Tapi bagaimana dengan kerabat dari orang yang kamu balas? Nanti mereka gak terima, lalu balas dendam balik ke kamu. Terus saja gitu, gak akan selesai."
"Dari gelagat lo aja udah nunjukin kalo Mama lo gak bakalan nyuruh anak gemesnya buat bales dendam. Dengan lo bales dendam, mama lo bukannya bangga, tapi kecewa, Sano!"
JDAARR!
Bagaikan petir yang menyambar tanpa aba-aba. Begitulah perasaan Sano. Kaget. Kepalanya langsung tertunduk kebawah, begitu pula dengan lengkungan bibirnya.
Kalian tau, ibu tirinya juga sama kagetnya. Sejulid-julidnya dia, tidak pernah menjulidi putranya itu dengan membawa-bawa mendiang Mama kandungnya.
Tapi siapa cewek itu?
Dia tidak yakin cewek itu cuma sekedar teman. Dan juga, sejak kapan Sano damai dengan perempuan selain mamanya? Dengan dirinya saja Sano abai.
"Lagi ngapain?"
Karena kaget, secara reflek wanita itu memukul mulut yang baru saja ngomong.
"Aduh! Durhaka kamu sama suami ya! Baru datang dimarahin, ngajak berantem?"
Dengan segera Heni membekap mulut suaminya. "Diam, anak kamu lagi dimarahin ceweknya!"
"Hah? Sano punya cewek? Katanya dia belok? Siapa ceweknya?" Hoben bertanya dengan suara tertahan.
Dengan pelan Heni membuka sedikit pintu kamarnya untuk memberi akses melihat pada suaminya yang baru selesai bab di toilet kamar.
"Waduh, beda agama. Rumit ini urusannya!"
"Tapi aku setuju sih kalo Sano sama dia. Kamu liat, pakaian Sano jadi beda gitu. Dan tadi aku sempet denger kalo Sano lagi belajar cara jadi cowok manly. Anak kamu mau berubah!" Heni benar-benar terharu. Memang dia selalu sinis terhadap Sano, tapi itu demi kebaikannya. Se-dimanjanya anak laki-laki, harus menerima perintah untuk masa depannya. Sano tidak harus selalu dituruti kebiasaannya, karena istrinya kelak yang akan mewarisi kebiasaannya.
Pada siapa istrinya akan bermanja jika Sano sendiri masih manja?
"Yasudah, kasih privasi untuk mereka berdua. Kita sekarang kayak tetangga sebelah yang suka manjat pagar rumah pas kita lagi berantem."
"Udah, jangan nangis. Liat, ini tisu terakhir, kalo lo masih nangis, gue gamau ngelap ingus lo pake tangan kosong."
"Tapi kamu marah sama aku..."
Sano masih ingin menangis. Inner child nya tidak terbiasa dimarahi. Dan Sanya jengah, banget.
"Gue gak marah, asal ibu lo gak marah. Minta maaf gih, sama ibu lo. Sakit tau diabaikan sama anak sendiri. Bersyukur kalo ortu lo masih lengkap walaupun salah satunya tiri. Gue yakin ibu lo tuh orang baik. Percaya deh ama gue!"
Setelahnya hening.
Lima menit menunggu, "gue masuk dulu. Ingat! Selama lo belum minta maaf, jangan ngechat gue! Bye!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirāthâl Mustaqīm || Kim Sunoo
Ficción General"Oh, lo pengen jadi lurus lagi? Tenang aja, lo bertemu dengan orang yang tepat. Gue bakal tuntun lo biar balik ke Shiratal Mustaqim!" "Shiratal Mustaqim tuh apa?" "Jalan yang lurus :D" *** Tentang Sano Niskala. Cowok yang ingin keluar dari kehidupan...