.
.
.
Sano bangun untuk sholat shubuh. Shubuh yang sepi karena biasanya dia jama'ah bareng Sanya, kadang-kadang juga Asa ikut. Hah, mengingatnya membuat Sano merasa sedih.
Untung saja Sano bisa masak, sehingga ketika keadaan memaksanya untuk menjadi pria yang multitalenta, dia tidak kerepotan. Setelah memasak, dia menelpon anaknya. Sarapan bersama, online. ver.
Tidak ada yang berbeda pada saat kerja. Hanya seperti yang Uji bilang kemarin, Sano sering murung dan terlalu serius bekerja. Sehingga kesalahan sedikit saja dia bisa sampai stress, juga sering marah-marah.
Sebagai teman yang baik, Uji sering main ke kantor pusat untuk menghandle beberapa kesalahan yang dibuat oleh bawahan. Kasian juga melihat mereka dimarahi Sano terus-terusan.
Sano stress tidak hanya pas kerja, jam istirahat pun dia stress. Lagian biasanya yang selalu menikmati waktu istirahat, malah lembur dengan pekerjaannya. Bahkan sekarang dia minum kopi. Tidak biasanya.
"Bre, lu stress kah?" tanya Uji yang miris melihat Sano seperti budak korporat yang tidak berhenti menatap layar notebooknya.
"Pake nanya."
Aw, sungguh sebuah jawaban yang menjelaskan semuanya.
Karena kerja itu membosankan, hal yang paling Sano suka adalah, waktu pulang. Begitu pukul lima sore tepat, Sano langsung meninggalkan kantornya. Tak peduli tadi tugasnya sudah selesai atau belum, yang penting pulang.
Pulang ke rumah-nya.
Ceklek!
Sano melangkah pelan mendekati ranjang. Sambil menatap kekasihnya yang masih terbaring lemah, kedua tangannya mulai terulur, meraih tangan Sanya, lalu menggenggamnya dengan lembut.
"Yang, aku dateng lagi. Aku minta maaf karena nggak cepetan datang buat nolong kamu. Kamu boleh panggil aku penggila kerja. Karena aku sok-sokan silent HP, jadi nggak denger telepon kamu."
Kalau kalian ingin tau, ini kali ke tujuh Sano minta maaf, dengan alasan yang sama.
"Kalo kamu bangun, pasti kamu bakal bosen dengerin ini. Tapi, aku gak bakal bosen buat ngucapin ini.
Maafin aku. Nanti kalo kamu udah sehat, kamu bisa gebukin aku atau ajak aku duel kayak pas kamu ngajarin aku bela diri dulu. Aku rela kamu hukum, asal—"
Sano tercekat. Dia tak sanggup. Seminggu melihat Sanya terbaring tanpa kepastian membuatnya tersiksa. Dia tidak akan siap dengan kemungkinan terburuknya.
"... Maafin aku."
Sano baru saja selesai menunaikan sholat tahajjud. Dan sebuah telepon yang membuat jantungnya lemas telah dia terima.
"Istri bapak telah sadarkan diri sejak jam tiga dini hari, namun beliau tidak ingin kami menghubungi bapak. Tidak lama kemudian dia kejang-kejang dan, maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkannya, namun takdir berkata lain.
Istri Anda telah tiada, dan beliau menitipkan sebuah surat untuk diberikan kepada Anda."
***
Aw aw, takut...Btw, hoe gaat het?
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirāthâl Mustaqīm || Kim Sunoo
General Fiction"Oh, lo pengen jadi lurus lagi? Tenang aja, lo bertemu dengan orang yang tepat. Gue bakal tuntun lo biar balik ke Shiratal Mustaqim!" "Shiratal Mustaqim tuh apa?" "Jalan yang lurus :D" *** Tentang Sano Niskala. Cowok yang ingin keluar dari kehidupan...