41. Bunda

91 11 0
                                    

.

.

.

Windi membawa Asa ke rumah neneknya yang berada di kota sebelah. Jika membawa Asa ke rumah orangtuanya mungkin Satya masih bisa menjemputnya, dan orangtuanya bisa saja mengira bahwa Asa adalah anaknya dengan Satya. Karena orangtuanya masih mengharapkan hubungannya dengan Satya berlanjut.

Yah, tidak hanya orangtuanya yang mengharapkan hal itu, Windi sendiri pun mengharapkan hal itu. Tapi setelah kejadian ini, harapannya untuk terwujud semakin mengecil. Satya yang semakin tidak terkendali obsesinya, dan pikirannya yang mulai sakit.

Agak ilfil juga Windi sebenarnya. Otak Satya ini sudah rusak.

"Titip ya nek. Maaf Windi ngerepotin..." ujar Windi. Neneknya hanya tersenyum. "Gapapa, nenek SENENG ada anak kecil dirumah. Sudah nenek bilang, jangan deket-deket sama si Satya itu. Sejak awal nenek gak setuju sama dia!"

"Iya maaf ya nek. Kali ini Windi bakalan dengerin nenek. Kalo gitu, Windi balik ya, mau bantu kak Sanya."

Begitu usai berpamitan, Windi langsung tancap gas ke rumah sakit tempat Sanya berada saat ini.

Begitu usai berpamitan, Windi langsung tancap gas ke rumah sakit tempat Sanya berada saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sano termenung di dalam kamarnya. Sanya koma, karena pendarahan di kepalanya cukup parah. Sebrutal apa istrinya menghadapi preman-preman itu?. Saat tiba di TKP tadi, Sano hanya melihat dua orang preman yang pingsan dan melihat beberapa tetes darah yang terseret.

Sano akui istrinya memang kuat. Tapi tetap saja perempuan, kekuatannya masih dibawah laki-laki.

Satya ini memang sudah keterlaluan. Obsesinya yang semakin menjadi-jadi hingga tega membuat Sanya terluka. Sano bersyukur Asa selamat, tapi juga sedih karena demi menyelamatkan putrinya, Sanya sampai seperti ini.

Terkait Asa, Windi sudah memberi tahu Sano bahwa putrinya sedang aman bersama nenek Windi. Setidaknya Sano dapat sedikit bernapas lega karena putrinya aman.

 Setidaknya Sano dapat sedikit bernapas lega karena putrinya aman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Selama Sanya terbaring koma, Sano tidak menjalani hidupnya dengan semangat. Tidak ada yang menemaninya sarapan, tidak ada yang memberinya semangat sebelum bekerja, dan tidak ada yang membuatnya bekal.

Uji jadi kasihan melihatnya. Dia jadi menyesal, andaikan kemarin dia tidak silent HP nya Sano, istrinya pasti masih sehat sekarang.

Oh, tidak juga Pak Uji.

"Murung mulu lo perasaan," celetuk Uji saat mereka berdua sedang istirahat di kantin.

"Menurut Lo?" tanya Sano sarkas.

"Siap salah. Oh iya, lama nih gak liat Asa, kemana dia?"

"Dirumah neneknya Windi. Bahaya kalo dirumah sama gue, takut kecolongan lagi sama penjahatnya." Sano menjawab seadanya. Tidak semua orang tau Satya, dan bagaimana dia.

"Gue kira penculikan tuh udah gak ada, ternyata masih aja. Mana ditawarin makan es krim lagi. Kok bisa mau sih? Bukannya Asa tuh gamau diajak orang asing ya?"

Aduh, Sano jadi takut. Dia takut masa lalunya terungkap kembali. Dan dia tidak siap mendengar cemoohan orang lagi. "Alaah bacot lo! Cepetan makannya, bentar lagi jam istirahat habis, ntar telat kerja dimarahin loh!"

"Kayak anak sekolah aja lo takut telat, lo bosnya ya kalo lo lupa!"

Shirāthâl Mustaqīm || Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang