.
.
.
Sanya sesenggukan. Sudah terhitung 15 menit dia seperti ini.
Gara-gara malu tadi?
Bukan.
Mereka jadi nonton, dan yang ditonton adalah film sedih yang menceritakan tentang ayah. Taulah ya kalian, kalo ayahnya Sanya sudah tidur di tanah padahal ada kasur. Nangis kejer lah dia.
Sano sudah berusaha menenangkannya dengan mengajaknya jajan eskrim di BR. Ya lumayan berhasil meskipun masih sesenggukan.
Setidaknya dia tidak ditatap tajam oleh orang lewat karena dikira membuat anak cewek nangis.
"Enak, es krim nya?" tanya Sano basa-basi.
Sanya menjawab dengan anggukan. Mulutnya menikmati es krim, tapi sepertinya pikirannya masih teringat dengan filmnya.
"Maaf ya, kita gak pesen tiket atau liat jadwal dulu soalnya, jadinya cuma film itu yang tersisa." Sano berujar tak enak. Sungguh, dia tak bermaksud membuat Sanya jadi teringat akan mendiang ayahnya.
"Gapapa kok. Eh iya, btw, makasih ya traktiran nonton, jajan di kafe, sama jajan es krim ini." Sanya mengangkat es krim nya saat mengucapkan kata terakhir.
"Sans, duit ku banyak."
"Lo kok nyantai banget soal keuangan, padahal kan lo ngekos?" tanya Sanya mencoba mengalihkan obrolan.
"Papa ngirimin aku uang perminggu. Cukup sih."
Alis Sanya bertaut. "Cukup buat seminggu? Emang ngasihnya berapa?"
Sano berpikir sebentar. "3 juta setengah," jawabnya santai tanpa tau Sanya langsung tersedak es krim.
"Eh kamu kenapa?" tanya Sano panik. Tangan kanannya menepuk-nepuk punggung Sanya.
"Hah, gila. Sehari lima ratus ribu?" tanya Sanya saat tersedak nya sudah selesai. Sungguh dia masih tidak percaya. Tapi ya percaya saja sih, dari penampilannya saja sudah jelas kalo Sano ini anak konglomerat.
"Ya kalo gitu namanya bukan ngekos dong, tapi pindah tempat tidur doang," cibir Sanya. Sano hanya cengegesan mendengarnya.
"Oh iya, rumah kamu dimana?"
"Kenapa, mau main?"
Ralat.
Sano bukan mengajak atau menawari Sanya untuk main ke rumahnya, melainkan memaksa. Begitu selesai makan es krim, Sanya tidak tau mau pergi kemana lagi, jadilah terserah Sano. Tapi Sanya tidak tahu kalau dia membawa Sanya ke rumahnya.
"Cih, nanya kok gak butuh jawaban." Kedua kalinya Sanya mencibir. Dan kedua kalinya pula Sano membalasnya dengan cengengesan.
Untung ganteng.
"Udah dong, jangan marah-marah, nanti cantiknya ilang," goda Sano.
Bukannya merasa malu, Sanya malah balas mendelik. "Maksud lo, kecantikan gue hanya sementara kayak parfum murah yang wanginya sementara?"
"Yah, salah ngomong."
"Bercanda. Kamu cantik kok. Eh, masuk yuk!" ajaknya. Sano mengambil langkah terlebih dahulu, lalu disusul oleh Sanya.
Begitu membuka pintu, tampak seorang wanita cantik yang kira-kira seusia dengan ibunya Sanya. Dia sedang membaca majalah. Tatkala dia lihat seseorang yang lama tidak menginjakkan kaki di rumah ini, majalahnya langsung dia letakkan disampingnya.
"Tumben pulang?"
.
.
.
***
Waduh, tumben pulang katanya?
Kira-kira, siapa ya wanita itu?Monggo untuk ditebak. Tapi kayaknya pasti udah ketebak. Karena aku gak niat bikin tebak-tebakan.
Yasudahlah, gapapa.
Btw, sehat* terus ya kalian!
Jangan lupa bahagia!
KAMU SEDANG MEMBACA
Shirāthâl Mustaqīm || Kim Sunoo
Algemene fictie"Oh, lo pengen jadi lurus lagi? Tenang aja, lo bertemu dengan orang yang tepat. Gue bakal tuntun lo biar balik ke Shiratal Mustaqim!" "Shiratal Mustaqim tuh apa?" "Jalan yang lurus :D" *** Tentang Sano Niskala. Cowok yang ingin keluar dari kehidupan...