35. Seblak

154 20 2
                                    

.

.

.

Niat Sanya kan hanya jalan-jalan sebentar, eh, tapi sekarang dia malah makan Seblak ditemenin Windi, ralat, nemenin Windi.

Kemarin kalian masih inget soal tamu yang tiba-tiba datang pas Sano sedang keluar? Nah itulah penyebab Windi nangis sendirian di alun-alun. Ternyata, bukan Sanya saja yang resah dengan tamu itu, tapi, Windi juga.

Mari tak ceritain.




Mari tak ceritain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Flashback

"Oh? Satya?"

Satya tersenyum tipis begitu pintu dibukakan oleh Sanya. Aduh, jujur Sanya langsung dihinggapi perasaan canggung dan tidak enak.

"Mau, masuk dulu?"

Satya duduk saat Sanya sudah mempersilahkan. "Bentar ya, tak ambilin jajan dulu." Sanya langsung masuk ke dalam dengan sedikit tergesa untuk mengeluarkan semua camilan toples yang dia punya.

Tapi ternyata hanya nastar yang masih banyak.

"Maaf ya, adanya nastar doang ternyata. Gak alergi nanas kan?" tanya Sanya.

Satya masih dengan gestur yang sama, kaku, dan datar. "Iyaa gapapa, lagipula gue disini cuma sebentar."

Sanya mengangguk mengerti. Dia kemudian duduk di seberang Satya. "Jadi, lo kesini karena apa?"

Satya berdehem singkat. "Lo, tau gak gue pernah nge-DM Sano?"

"Iya, gue bahkan yang balesin DM laki gue. Kenapa?"

Kata kenapa ini, ditujukan agar Satya menjelaskan maksud dari DM dia. "Persis apa yang gue tanyain di DM, apa gue masih bisa dapet kesempatan? Itu yang mau gue tanyain ke sini." Satya mengatakan kalimat tersebut dengan tegas. Sedangkan yang mendengarnya, perasaannya sudah tidak karuan.

"Sorry Satya, kalo kesempatan yang lo maksud itu kesempatan buat dapetin maaf dari Sano, itu mungkin bisa. Tapi kalo kesempatan itu maksudnya lain, yang gue harap bukan, itu kayaknya gak bisa." Ada sedikit nada marah ketika kata-kata itu terluncur.

"Iyaa gue mau minta maaf. Tapi gue pengen hubungan gue dan Sano bisa lanjut."

Mak jeder!

"Apa perut gue yang besar ini kurang keliatan jelas buat menjawab perkataan lo tadi?

Gue sama Sano udah ada ikatan yang sah! Baik dimata agama maupun negara. Sementara lo? Negara udah pasti gak ngerestuin, agama apalagi, masyarakat juga siap ngucilin lo kalo itu sampe terjadi!" Sanya menghela napas, mencoba sabar karena posisinya saat ini tengah mengandung anaknya.

"Gue sama Sano udah satu. Satu tujuan, satu aliran, satu agama. Sedangkan lo, hah, mimpi!"

Asli, rasanya Sanya ingin langsung adu by one dengan cowok didepannya ini. Tangannya saja sampai terkepal disamping, mencoba untuk menahan diri agar tidak mengeluarkan kata shibal saekkiya.

Kini hening kembali. Apa yang dikatakan oleh Sanya, sebenarnya itu semua masuk akal di pikiran Satya. Hanya saja, dia masih denial untuk menerima kenyataan bahwa dirinya dan Sano tak dapat bersatu kembali.

Iyalah, kalo ampe jadi, kagak bakal gue bikin nih cerita.

"Udah kan, lo mau ngomong itu doang?" tanya Sanya pada akhirnya karena cowok itu hanya diam saja. Satya mengangguk kaku. "Yaudah nih, makan dulu nastarnya, gue ambilin minum. Dimakan ya, awas aja kalo nggak! Gue laporin ke Pak RT lo!"

Flashback end

Flashback end

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

















Jadi, begitulah ceritanya wahai teman-teman.

Nah, sekarang kembali ke realita. Windi masih belum mengungkapkan mengapa, dan apa yang terjadi. Dia hanya mengatakan "Satya", lalu lanjut menangis. Berhubung seblaknya sudah jadi dan Windi masih belum mau cerita. Akhirnya, "misi, izin makan Seblak dulu ya. Sok atuh, tenangin diri dulu." Sanya mulai menyantap seblaknya.

Bener-bener ye, apapun yang terjadi, perut nomer satu.

Tangisan Windi mulai reda. Tangan gadis itu meraih segelas es teh dan meminumnya sedikit. "Satya mutusin gue, Mbak. Katanya dia belok..."

Uhuk!

Mampus, Sanya kesedak Seblak level tiga.








***
Level satu aja menurutku udh pedes dan cukup menyiksa sih. Nah ini level 3, aduh, parah

Jaga kesehatan dan bahagia selalu ya!

Dadah!

Shirāthâl Mustaqīm || Kim SunooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang