Ketakutan terbesar dalam hidup adalah kehilangan diri sendiri.
_________________________________
Lampu tamaram pagar rumah terlihat begitu sunyi. Udara dingin membuat hidung terasa seperti flu. Entah hawa yang terlalu membekukan atau dia yang terlalu banyak menangis di perjalanan pulang. Raganya memang sudah di depan teras rumah, namun jiwanya masih tertinggal di tempat dimana harapan itu kembali di adu oleh semesta.
"Bayarnya lewat aplikasi ya, mbak."
Satu detik, dua detik, tidak ada jawaban.
"Mentari budek Himawan." Seru Ilham lagi.
"Hah? Iya, Tur gimana?"
Ilham tersenyum kecut, mendengar Mentari salah menyebut namanya. Gadis itu masih tidak bisa lepas dari Guntur, meski orangnya tidak ada sekalipun.
Mentari berdehem lantas turun tergesa dari motor Ilham.
"Sorry, Ham." Ujar Mentari menyerahkan helmnya.
Ilham terkekeh. "Sakit hati nih gue, Tar. Jelas-jelas gue lebih ganteng dari dia, masak lo salah sebut."
Bohong kalau Ilham tidak sakit hati, ketika gadis yang ia cintai menyebut nama laki-laki lain saat sedang bersamanya.
"Ganteng darimananya? Wajah bonyok gitu, yang ada lo kelihatan kayak zombie."
"Enak aja. Emang sejelek itu ya, Tar?" Ujar Ilham langsung menatap pantulan wajahnya dari kaca spion.
"Bahkan zombie pun kalah serem sama lo." Lanjut Mentari terus mencela Ilham.
"Ini semua gara-gara si bangsat Alvaro. Jadi sia-sia kan, gue pake serum semalem." Umpat Ilham.
Mentari memutar bola matanya malas. Ilham masih saja bercanda saat keadaan kayak gini.
"Lo berantem karena gue?" Tanya Mentari menatap Ilham serius.
"Enggak"
"Ham, jangan bohong."
"Salah satunya sih."
Pletakkk
"Aduhh! Kok digaplok sih, Tar." Keluh Ilham mengelus kepalanya.
"Bohong salah, jujur tambah salah. Maunya apa sih." Kesalnya.
"Yakin lo nanya mau gue apa?" Ujar Mentari menantang.
Ilham diam. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa seperti salah bicara.
"Mau gue, lo enyah dari hidup gue." Tekan Mentari.
Skakmat.
Saat tangan dan otot terlihat tidak punya harga diri di depan perempuan. Hari ini Ilham mengakui jika kebenaran adalah mutlak bagi perempuan.
"Nggak akan lagi gue nanya kayak gitu." Rutuk Ilham pelan.
Mentari berjalan meninggalkan Ilham. Ia duduk di kursi terasnya, dengan langkah lunglai.
"Jangan ngomong gitu dong, Tar." Ilham ikut duduk di kursi sebelah Mentari.
"Tapi gue seneng deh hari ini." Ujar Ilham menggantung.
Mentari menautkan alisnya, melirik ke arah Ilham.
"Untuk pertama kalinya lo lebih milih gue dan nolak Guntur."
"Gue terpak----"
Drrrrt
Ucapan gadis itu terpotong begitu saja saat ponselnya bergetar. Ia melirik, tertera nama Guntur disana. Melihat itu, tangannya meraih cepat ponselnya, tapi untuk menekan tombol power.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guntur di kala Mentari
Teen Fiction(Jangan lupa follow dulu baru baca) "Jika pagi butuh malam untuk bertemu, aku hanya butuh tersenyum lalu menangis untuk membencimu." -Mentari Himawan. Mengenal Guntur membuat Mentari merasa jingga, saat cerahnya bertemu gelap. Kisah bahagia yang di...