Yang mereka katakan benar, aku bisanya cuma menangis.
Disini dunia seperti runtuh. Dinginnya rumah sakit beradu suara mesin pendeteksi jantung semakin membuat malam ini terasa mencekam. Disana, di depan pintu ruang ICU gadis itu terduduk di lantai menelungkupkan kepalanya. Sudah satu jam lebih dokter belum juga keluar. Beribu doa ia udarakan meminta tuhan tetap menjaganya.
"Ini salah gue!" Sesal Mentari memukul lututnya berulang kali.
"Andai gue nggak keluar malam ini, Lo nggak akan mungkin terluka."
"Gue minta maaf Tur, gue minta maaf." Mentari semakin meracau.
"Tenangin diri Lo, Tar." Ucap Fahsya ikut berjongkok menyentuh bahu yang mengguncang itu. Entah mengapa keadaan Mentari jauh terlihat menyakitkan melebihi keadaan sahabatnya yang sedang berjuang selamat di dalam sana. Derai air matanya menyiratkan penyesalan yang luar biasa. Gadis itu sungguh kacau dan memilukan.
Mentari mendongak menatap ke arah Fahsya. "Dia lagi sekarat di dalam sana karena gue, Sya. Apa gue masih bisa tenang?!” Desis Mentari.
"Dia ngeluarin banyak darah Sya, dia di tusuk!Dan Lo nyuruh gue tenang?!"
"Lo nangis meringkuk disini pun nggak akan bisa bikin dia bangun dan lari nyamperin Lo, Mentari!"
Nada suara Fahsya meninggi, membuat Mentari semakin terisak dalam. Cowok itu mengacak rambutnya frustasi menyadari apa yang sudah ia ucapkan.
"Gue yakin Guntur bakal baik-baik aja." Ucap Fahsya pelan.
Mentari menggeleng. "Gue takut, Sya. Harusnya yang ada di dalam sana itu gue bukan dia."
"Tar, Guntur ngelawan orang-orang itu supaya Lo tetap baik-baik aja. Dia nggak mau liat Lo kenapa-kenapa. Stop nyalahin diri Lo sendiri."
Pintu terbuka memperlihatkan seorang suster keluar dari ruang ICU. Melihat itu, Mentari langsung bangkit dan mendekat begitupun dengan Fahsya.
"Ini barang-barang milik pasien."
Air mata Mentari semakin deras mengalir menatap ponsel, dompet dan jas Guntur. Mentari memeluk erat jas itu dan semakin menambah kepedihan di dadanya.
"Bagaimana keadaan Guntur, suster? Dia baik-baik aja kan? Guntur nggak apa-apa kan?" Tanya Mentari.
"Pasien masih dalam penanganan dokter. Kalian berdoa saja, kami sedang berusaha yang terbaik." Ucap Suster itu lalu kembali masuk ke dalam.
Sekelebat mata Mentari sedikit melihat keadaan Guntur di cela pintu yang terbuka. Raga yang masih sangat ia cintai sampai detik ini itu terbujur dengan selang oksigen di hidung dan mulutnya. Raut wajah dokter disana juga ikut menyimpulkan bahwa keadaan Guntur memang sangat serius.
Drrrtttt! Drrrtttt!
"Tante Jenar." Lirih Mentari tersentak menatap ponsel Guntur yang menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guntur di kala Mentari
Fiksi Remaja(Jangan lupa follow dulu baru baca) "Jika pagi butuh malam untuk bertemu, aku hanya butuh tersenyum lalu menangis untuk membencimu." -Mentari Himawan. Mengenal Guntur membuat Mentari merasa jingga, saat cerahnya bertemu gelap. Kisah bahagia yang di...