Chapter 35 : Sulit aku mengerti

82 10 15
                                    

Bagian menyakitkan itu adalah kembali mengingat pernah sebaik-baik apa kita dulu.

______________________________

Mentari membenarkan letak helmnya yang hampir menutupi penglihatannya saat lampu pengatur lalu lintas berwarna merah. Gadis itu sedikit menahan nafasnya ketika bau mesin kendaraan merasuk ke dalam indera penciumannya dan hampir membuatnya mual. Terik matahari membuat detik angka pengubah warna lampu terasa begitu lama.

"Pokoknya saya tidak mau pemilik perkebunan itu memilih perusahaan dia!"

"Kasih penawaran yang terbaik, kalo bisa penawaran tertinggi. Saya tidak ingin kehilangan perkebunan itu, apalagi jatuh di tangan perusahaan yang berada di bawah kuasa saya."

Mentari menoleh ke arah kiri. Matanya menyipit menelisik ke arah mobil hitam yang berada tepat di sampingnya.

"Persaingan emang menakutkan." Geming Mentari.

Bukan hanya keuntungan yang di kejar mati-matian, tetapi juga sebagai ajang pembuktian dan kepuasan mematikan lawan. Siapa yang gagal dan lemah akan diinjak oleh yang paling perkasa. Kenapa tidak sewajarnya saja? Bukankah setara lebih mendamaikan?

"Saya tidak ingin mendengar keluhan. Atur pertemuan saya dengan pemilik perkebunan itu hari ini."

"Eh, nggak sopan banget deh gue nguping pembicaraan orang." Sadar Mentari.

"Eh tapi kan gue nggak sengaja, bapak itu aja yang ngomongnya teriak-teriak dan kuping gue yang masih berfungsi dengan normal menangkap suaranya." Mentari sibuk berdebat dengan dirinya sendiri.

Tin!!!! Tinnn!!

Mentari terlonjak mendengar beberapa klakson kendaraan yang berada di belakangnya. Ia tidak sadar jika lampu sudah berganti hijau, karena terlalu menyimak kekesalan seseorang yang di dengarnya, hingga mobil itu melesat perlahan hilang dari pandangannya.

"Tuh kan jadi lupa beli makan. Mana udah kelewat jauh restorannya." Rutuk Mentari pada dirinya sendiri saat sudah memasuki gang perumahannya.

"Terpaksa deh, mie instan lagi." Mentari menghela nafasnya.

"Yang penting Malik udah pulang ke rumah gue." Ucapnya tersenyum sambil menatap tote bag novel yang baru saja ia beli. Mentari sangat mengagumi karakter cowok di cerita itu.

"Harusnya gue kemarin minta ajarin Bi Ningsih masak sebelum berhenti bekerja."

"Jadi kangen Bi Ningsih. Gimana ya kabarnya?"

****

Mentari mengernyitkan keningnya kala menyadari ada sebuah piala dan sebungkus nasi nangkring di atas meja ruang tamu, saat ia baru saja masuk ke dalam rumahnya.

"Perasaan pintu rumah masih terkunci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Perasaan pintu rumah masih terkunci. Ini kuncinya masih gue pegang." Bingung Mentari. "Terus siapa yang naruh?"

Mentari mengedarkan pandangannya. Ia meneliti setiap sudut ruangan, memastikan apakah telah ada maling yang habis menjarah rumahnya.

Guntur di kala Mentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang