Chapter 12 : Pelik

88 13 1
                                    

Tidak perlu terlalu tenggelam untuk mencintai seseorang. Terkadang berada di permukaan juga perlu, untuk melihat di semua arah sudut pandang.

_________________________________

Disinilah Mentari, tangan dan otaknya berkutat dengan kotak pemberian Guntur. Suasana perpus yang sepi seharusnya bisa membantunya memecahkan angka yang dimaksud Guntur. Berkali-kali Mentari mengingat betul, kapan dirinya pertama kali bertemu dengan Guntur.

"Tanggal hari dimana gue deg-degan?" Mentari mencoba memahami clue kedua yang diberikan Guntur. Jarinya terus mengetuk-ngetuk dagunya berfikir keras.

"Tiap hari gue deg-degan kalo di deket dia. Guntur sialan. Apa sih maksudnya? Dia tau kalo gue suka sama dia?" Mentari menelungkupkan kepalanya di meja. "Nggak mungkin juga tau." Mentari semakin pusing.

Mentari mengguncang-guncakan kotak kecil itu. Mencoba menebaknya lewat suara. Tetapi, dia tidak bisa mendengar apapun benda yang ada di dalamnya. Tangannya semakin keras mengguncangkannya berusaha mendapatkan suara.

"Apaan? Gada suaranya." Kesal Mentari melempar kotak kecil itu jengah.

"Kenapa, Tar?" Suara Davit tiba-tiba mengagetkannya.

"Lecek amat tuh muka? Bukannya seneng ya, habis menangin lomba?" Davit penasaran.

Mentari mengerucutkan bibirnya, dan kembali menelungkupkan kepalanya. "Gue lagi pusing, jangan ganggu." Ucap Mentari malas.

Davit mengerutkan keningnya, tidak biasanya Mentari bersikap jutek kayak begini.

"Eh, Sya bukannya itu kotak yang ada diatasnya tas Guntur tadi?" Tanya Davit menatap kotak berwarna biru tua yang tergeletak di meja depan Mentari.

Fahsya langsung mengikuti arah pandang Davit, lantas mengangguk.

Mentari menegakkan tubuhnya menatap Davit dan Fahsya nanar. "Guntur lagi ngerjain gue ya?" Ucapnya lemah.

"Ngerjain?" Ulang Davit tidak mengerti lalu mengambil kotak kecil itu.

"Tarik nafas dulu, Tar. Terkadang apa yang kelihatan, tidak selalu sesuai sama prasangka kita." Ujar Fahsya.

"Iya, tapi kenapa dia main tebak-tebakan nggak penting kayak gini? Udah dua kali gue ngerasa dipermainkan sama dia. Jadi wajar gue berprasangka jelek ke dia." Keluh Mentari.

Jika saja mereka berdua tahu, rasa senang dan kecewa yang datang bersamaan dalam satu waktu. Jika saja mereka tahu, rasanya melihat orang yang kita cintai membentaknya di depan umum. Dan jika saja mereka tahu, bagaimana sesaknya memendam perasaan.

"Bener-bener Guntur." Davit geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang.

"Jadi pacar gue aja gimana, Tar? Gue janji akan selalu bahagiain Lo. Gue nggak akan permainin perasaan Lo, kayak Guntur." Ucap Davit dengan nada serius.

Fahsya berdecak kesal, meninju keras kepala belakang Davit.

"Anjing! Sakit." Keluh Davit memegangi kepalanya.

"Kalo mau nikung temen, jangan terang-terangan goblok!" Ucap Fahsya.

"Lah, siapa mau nikung? Guntur udah punya Erica kan? Salah gue dimananya anjir."

"Lo nafas aja udah salah."

"Sialan Lo, Sya."

"Hiihh udah deh, kalo mau gelut jangan depan muka gue." Kesal Mentari. "Kalian emang nggak tau ini isinya apa?"

"Yahh, sayangnya Guntur nggak berunding tentang itu Tar sama gue." Ucap Davit.

Mentari menghela nafasnya putus asa.

Guntur di kala Mentari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang