Perasaan itu ada karena terlalu sering dimaklumi kehadirannya.
________________________________
Suara gaduh terdengar hingga ke ruang guru. Teriakan beberapa siswa yang ngotot meminta contekan PR hari ini begitu mendominasi. Berbeda dengan Davit dan Raka, mereka sibuk merecoki siswa perempuan yang tengah piket. Mulai dari berjalan mondar-mandir di depan lantai yang sedang disapu. Hingga membuat singgahsana dari kursi yang dinaikkan ke atas meja.
"Woii Va! Bilangin ke temen-temen Lo, kalau piketnya diganti ngecat tembok kelas aja. Jangan nyapu." Seru Raka sambil berdiri di atas meja.
"Dasar sinting!!" Desis Diva. "Kalian bisa nggak sih jangan berulah kayak bocah TK. Kalian kalau nggak mau piket diem, jangan ganggu." Diva mulai naik darah melihat tingkah tidak waras Davit, dan Raka.
Kelas yang letaknya paling ujung koridor lantai tiga ini menjadi primadona SMA Ekadanta, karena memiliki penduduk seperti Guntur, Fahsya, Davit, dan Raka yang berparas tampan. Banyak siswa perempuan kelas sekitar, beralasan meminjam sapu hanya untuk sekedar menyegarkan mata atau berpura-pura terpeleset di depan kelas agar ditolong salah satu cowok incarannya.
"Ehh kambing!! Yang ada kita ganti gelar jadi tukang, bukan murid dong Bang Raka."Timpal Davit yang tengah duduk dimeja guru dengan kedua kaki diatas meja, tak lupa kacamata hitam yang selalu nangkring di wajahnya.
"Habisnya gue kasihan Vit, banyak cewek-cewek nyusrug ke lantai depan kelas kita. Gue yakin lantainya jadi licin karena sering disapu terus." Ucap polos Raka. Lebih tepatnya sok polos.
"Kayaknya kita harus buat surat pengajuan ke kepala sekolah deh, untuk ganti lantai kita jadi paving aja." Sahut Fahsya mengusulkan.
"Kita nunggu Guntur dulu. Dia kan ketua kelas kita tuh." Ucap Raka.
"Apa Lo, Guntur-Guntur. Turun nggak Lo!!" Sebuah ultimatum berasal dari pemilik nama yang disebut. Hampir saja Raka terjerembab ke bawah saat pijakannya oleng, karena meja tempat dia berdiri ditendang Guntur. Raka spontan turun sambil mengelus dadanya. Seolah berkata 'Untung selamat.'
"Kasar banget Bwang. Untung hayati ada darah serigalanya, bisa loncat dengan aman." Ujar Raka mendramatisir.
"Lebih ke monyet si." Celetuk Davit cekikikan disusul Fahsya.
"Kurang ajar Lo Vit!!" Raka tak terima mengeplak kepala belakang Davit.
Guntur mengambil paksa tas dari bahu Raka, dan menaruhnya di atas mejanya tepat di bekas sepatu Raka, lalu menggosokkannya hingga bekas sepatu itu hilang.
"Sialan Lo Tur!" Ucap Raka kesal dan menarik tasnya yang kotor tak berdaya.
Guntur memang tidak berperikemanusiaan.
"Masih untung gue ambil tas Lo, bukan baju Lo buat lap Rak." Ucap Guntur santai sambil mendaratkan bokongnya ke atas meja.
"Dasar bangsat, untung aja ketua kelas." Raka mendumel pelan dan berjalan ke bangkunya.
"Lo ngomong sesuatu Rak?" Tanya Guntur tersenyum mendengar umpatan Raka untuknya.
"Nggak!!"
Guntur beralih menatap Davit yang tengah senyum-senyum sendiri. Alis Guntur terangkat sebelah aneh. Matanya mengikuti arah pandang sahabatnya itu.
"Lo alihin pandangan Lo atau mata Lo yang gue alihin kebelakang." Peringat Guntur menggebrak meja, membuat Davit terlonjak kaget.
"Astagfirullah, Tur. Kaget gue, loh." Ujar Davit membenarkan kacamatanya yang melorot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guntur di kala Mentari
Fiksi Remaja(Jangan lupa follow dulu baru baca) "Jika pagi butuh malam untuk bertemu, aku hanya butuh tersenyum lalu menangis untuk membencimu." -Mentari Himawan. Mengenal Guntur membuat Mentari merasa jingga, saat cerahnya bertemu gelap. Kisah bahagia yang di...