Once | Half Boiled Egg

5.7K 599 7
                                    

Once | Half Boiled Egg



      "Selamat Sore, Pak Radit."

Ganes menyambut pria berkacamata yang sore ini datang mengenakkan pakaian santainya.

Ditemani supirnya, pria itu tersenyum balas menyapa Ganes dan duduk dihadapan wanita itu.

"Saya tidak terlambat kali ini kan, Bu Ganes?" Tanya Pria kepala lima itu dengan ramah.

Ganes menggeleng, menyapa sebentar supir Pak Radit yang langsung memisahkan diri dan mengambil tempat duduk berjarak dua meja dari mereka.

"Saya tidak tau daerah ini punya nuansa alam yang cukup kental." Kata Pak Radit berkomentar sambil mengedarkan pandangannya mengelilingi kafe. "Terutama itu. Saya tidak tau ternyata ada sungai disini." Tunjuknya pada aliran air yang menjadi objek penarik utama sekaligus pemandangan primadona cafe ini.

Ganes tersenyum. "Pak Radit sepertinya harus lebih banyak explore kota. Gak usah jauh-jauh, ajak jalan-jalan sama anak dan cucu makan keluar bersama. Bisa jadi agenda healing baru buat Pak Radit kalau akhir pekan luang." Kata Ganes sambil mengulurkan cappucino panas di depan pria itu.

Radit menghela nafas berat. "Cucu? Kalau saya punya, saya dengan senang hati menghentikan semua sisa perkerjaan saya dan pindah ke luar Jakarta. Kedua anak saya sepertinya tidak memiliki niat itu. Bahkan kelihatannya, dalam kamus mereka tidak ada kata menikah. Terutama putra terakhir saya." Kata pria itu dengan wajah mengenaskan.

Ganes manggut-manggut. "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mereka sepertinya benar-benar mirip dengan Pak Radit." Ganes menyesap kopinya. Melirik pria itu yang tampak protes.

Tapi keluhan di mulutnya tak jadi keluar. Kembali tertelan karena tak bisa mengelak.

"Saya rasa begitu. Saya yang membuat trauma besar untuk Raid dan Gyuma. Mereka kini tumbuh jadi......." kerutan di dahi Pak Radit terlihat. Pria itu seakan berusaha keras menemukan kosa kata yang tepat. "Serampangan." Ucapnya dengan helaan nafas.

Ganes tertawa. Tercetak begitu jelas sirat kegemasan yang terwakilkan dari wajah Radit.

"Sepertinya Abah dan Ibu saya juga akan bicara seperti ini setiap memikirkan Abang kedua saya dan saya sendiri." Katanya membuat pria berkacamata itu mengernyit.

"Kalau saya boleh tau, Bu Ganes umur berapa?" Tanya Radit penasaran. Menilai dari garis wajah Ganes, wanita itu terlihat baru memasuki pertengaham dua puluhan.

Ganes tersenyum. "Akhir tahun ini saya menginjak umur 30 tahun." Jawabnya jujur.

Radit terkesiap. Pria itu bahkan sampai mengangkat alisnya tinggi. Walau detik selanjutnya, pria itu jadi menggerjap-ngerjapkan matanya, terlihat berpikir keras dengan alis berkerut.

"Ah... tapi hal itu bisa di mengerti. Wanita itu juga masih single dan fokus dengan karirnya." Lanjut Radit mengangguk-anggukan kepalanya.

"Kalau saya bisa dimengerti. Mengapa tidak dengan putra Bapak?" Ganes terkekeh. Mengangkat sebelah alisnya mencari pembenaran pada Radit yang menghela nafaa berat. Namun teringat dengan sesuatu, Ganes menepukkan kedua tangannya antusias. "Ah! Betul... omong-omong dengan wanita itu, karena prolognya sudah dimulai kemarin. Bagaimana dengan isi cerita dialognya?" Tanya Ganes merapatkan kedua kakinya maju.

Wanita itu tersenyum lebar dengan alis terangkat tinggi. "Jadi, siapa namanya? Berapa umurnya? Kesukaannya? Hobi? Pekerjaan? Apa saja yang Bapak sudah ketahui dari dia?" Tanya Ganes penuh semangat.

Kepala Radit menunduk kecil. "Apa.... saya harus menceritakan semuanya?" Tanya pria itu sambil melirik sekitar suasana cafe outdoor yang sore ini lumayan cukup ramai.

Heart, Blueprint!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang