Ocho | Janji dan Dendam

6.4K 617 21
                                    

Ocho | Janji dan Dendam



      Ganes memeriksa jam di pergelangan tangannya sekali lagi. Memperbaiki letak khimarnya sambil memeriksa ponsel menunggu jawaban dari nomor yang dikirimkan oleh atasannya sejak malam lalu.

Ganes sudah membuat janji dengan klien sekaligus Paman dari atasannya sejak hari kemarin. Jadi setelah berunding untuk menyesuaikan jadwal pertemuan mereka selama tiga minggu ke depan. Keduanya bersepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang dekat dengan kantor milik sang klien.

Ganes reflek beranjak bangkit, tepat pada saat sebuah pesan di ponselnya masuk dan pintu kafe terbuka. Wanita itu segera melambai, memberikan tanda kehadirannya pada seorang pria tinggi berjas biru gelap datang dengan langkah terburu-buru.

"Maafkan saya, Bu Ganes," ucapnya dengan nafas sedikit terengah. Di belakangnya, ada sosok pria lagi yang terlihat sebagai supir kliennya mengikuti dengan langkah yang sama cepat.

"Rapatnya berjalan lebih lama dari yang saya kira." Lanjutnya kemudian mengulurkan tangannya ke depan dengan senyuman.

Ganes sempat tertegun. Sekilas, sosok pria menyebalkan dengan senyum menawan tempo hari lalu yang menggangu Ganes terbayang sekejap.

Wanita itu berdehem, menangkupkan tangannya ke depan membalas salam pria itu dengan senyuman.

"Tidak masalah, Pak Radit. Saya juga baru saja datang." Jawab Ganes membuat pria berkacamata berumur awal 50 tahunan itu menarik tangannya. Mengangkupkan kedua tangannya ke depan sambil balas tersenyum.

"Mari silahkan duduk, Pak. Bapak-bapak mau saya pesankan sesuatu dulu?" Tanya Ganes sambil mempersilahkan kedua pria itu untuk duduk lebih dulu.

"Ah... biar supir saya yang sekalian pesan. Ibu Ganes bisa duduk dulu." Kata pria bernama Radit itu kemudian mengulurkan tangannya untuk meminta Ganes duduk.

Radit sempat berbicara dengan supirnya beberapa saat. Tidak butuh lama sampai sang supir bangkit dan pamit menuju kasir pemesanan.

"Saya tidak tau Adnan benar-benar serius sampai memperkenalkan saya dengan temannya yang menjadi seorang psikolog." Kata Pak Radit siang itu membuka topik obrolan lebih dulu.

Ganes tersenyum. Menunggu pria itu selesai berbicara dengan mata tertuju lurus.

"Dan ini... yang benar-benar saya ingin bicarakan langsung dengan Bu Ganes." Pria berkepala lima itu menarik nafasnya sejenak. "Saya minta maaf karena orang tua ini merepotkan Bu Ganes, tapi sungguh... saya bisa meng-handle semua ini sendiri. Ini bukan perkara besar." Lanjut pria itu tersirat.

Ganes mengangguk. Membenarkan ucapan samg atasan di dalam hatinya bahwa Pakde-nya ini akan dengan keras kepala untuk menolak seseorang menjadi sosok teman berkeluh kesahnya.

"Saya mengerti," kata Ganes memperbaiki posisi duduknya. "Pak Adnan sudah memperingati saya mengenai kemungkinan Pak Radit yang akan menolak pertemuan ini. Tapi izinkan saya menyampaikan pesan dari Pak Adnan mengenai ke terkhawatirannya."

Radit mengernyit, mendengarkan dengan seksama.

"Aku gak minta Paman Radit untuk berkonsultasi sama Ganes karena Paman Radit sakit mental. Aku tau betul Paman Radit 100 persen sehat. Baik jasmani dan rohani. Yang aku mau, Paman Radit bisa punya teman cerita yang bisa diajak berbagi dan tukar pikiran. Tidak harus aku, aku tau rasanya memiliki pikiran yang gak ingin dibagi dengan keluarga."

"Karena itu aku minta Ganes. Yang punya ahli di bidangnya. Yang pegang kode etik jika Paman Radit khawatir keluarga bisa dengar. Dan yang paling penting, yang bisa aku percayai. Kalau Paman Radit gak keberatan, bisakah Paman Radit beri Ganes kesempatan?" Ungkap Ganes membaca pesan pada secarik kertas bookpaper yang kemudian diserahkan pada pria berkacamata di depannya.

Heart, Blueprint!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang