DO IT; 17

443 43 1
                                    

17; Kematian yang Direncanakan

•chapter seventeen; start•

—... Dilaporkan, Park Jeongwoo, Presiden PJW's Company ditemukan tak bernyawa di antara reruntuhan gedung perusahaannya akibat tragedi pengeboman yang sempat terjadi pada—..."

Suara wartawan dari berbagai acara televisi itu tengah berlomba-lomba untuk menyajikan dan mendapatkan berita yang akurat juga berita yang akan menarik atensi masyarakat luas. Entah benar atau tidak, masyarakat akan tetap percaya atas apa yang mereka dengar bukan?

"Park Jeongwoo? Pemilik PJW's Company, kan?"

"Apa? Meninggal di umur semuda itu?"

"Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan..."

"Astaga, anak sebaik dia kenapa harus meninggal secepet itu?"

Suasana tempat kejadian begitu ricuh. Kabar kematian dari salah satu orang berpengaruh Korea Selatan ditemukan tak bernyawa di reruntuhan gedung perusahaannya sendiri. Tentu hal ini akan menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, tak sedikit juga diantara mereka yang akan mengunjungi tempat kejadian.

Suara sirine ambulans terdengar memekikkan telinga, menunggu para petugas yang sedang mengevakuasi jasad dari pimpinan perusahaan besar ini. Juga para polisi yang diterjunkan untuk mengkondusifkan situasi yang cukup tak terkendali.

Termasuk Haruto, tak dapat dilupakan bahwa pria ini adalah salah satu teman dekat korban.

"Pak? Bapak baik-baik aja?" tepukan ringan di pundak Haruto itu hanya dijawab anggukan kecil oleh sang empu.

Haruto ingin menangis, berteriak. Namun pekerjaan terus mendorongnya untuk tetap profesional dalam bekerja. Lihatlah bagaimana tatapan hazelnya itu terus bergerak gelisah. Bagaimana dirinya berusaha mati-matian untuk tidak menitihkan air mata.

"Ada keluhan?" tanya Haruto, lesu.

"Sejauh ini nggak ada, pak. Masih cukup kondusif..."

Kehilangan seorang sahabat adalah salah satu bagian menyakitkan dalam hidup.

"ENGGAK! ANAKKU BELUM MATI! ANAKKU MASIH HIDUP!"

"KALIAN PEMBOHONG! JEONGWOO-KU NGGAK AKAN PERNAH PERGI!"

"JEONGWOO! MAMA DISINI! AYO PELUK MAMA! JEONGWOO!"

Lamunan Haruto buyar, jauh disana, seorang wanita paruh baya dengan tampilan yang begitu berantakan menangis meraung mencoba melewati jejeran polisi yang mengamankan tempat kejadian. Haruto mengenalnya,

Dengan langkah cepat Haruto menghampiri wanita itu. Perasaan yang begitu campur aduk menghiasi relung hatinya, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus meminta maaf kepadanya karena gagal menjaga sang putra?

Haruto berhenti tepat dihadapan wanita paruh baya itu, menampilkan wajah lunaknya dengan air mata yang sudah mengumpul di pelupuk. Menunggu reaksi wanita itu yang kini tiba-tiba terdiam menatapnya.

"Nak Haruto... Jeongwoo dimana?" tanya wanita itu lirih.

Pecah sudah air mata Haruto. Dibawanya ibu dari sahabatnya itu ke dalam pelukannya. Berkali-kali memberikan permohonan maaf atas kesalahan yang tidak ia lakukan. Entahlah, rasa bersalah begitu ia rasakan kala melihat air mata di wajah wanita ini.

"Nak Haruto... Jeongwoo nggak akan ninggalin mamanya! Hiks, semuanya bohong, kan?"

"Maaf, maafin Haruto..."

Wanita itu terus menangis tak henti-hentinya memukul ringan dada bidang Haruto, "Jeongwoo nggak mungkin pergi... Anakku nggak akan pergi... Bohong, kalian bohong..."

DO ITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang