09. Kabut dan pelangi

95 17 3
                                    

Maura membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya setelah dia selesai mengerjakan PR-nya. Seperti biasa, setelahnya Maura langsung mengambil ponselnya yang sejak tadi dia charge. Kali ini bukan untuk berkirim pesan atau update status di media sosialnya, melainkan Maura sedang sibuk mencari lagu yang cocok untuk dia tampilkan di acara ulangtahun sekolah nanti.

Karena Darren tidak menyebutkan lagu tertentu, alhasil Maura tidak memiliki patokan tersendiri selain mencari lagu yang sekiranya cocok dia iringi dengan gitar dan masih kategori mudah untuk dipelajari, karena seperti yang sudah Maura tegaskan sebelumnya bahwa dia memang sudah cukup lama tidak menyentuh gitarnya dan tentu saja akan sangat merepotkan jika Maura terlalu berambisi memberikan penampilan yang sempurna dengan pemilihan lagu yang sulit, hanya dengan waktu latihan kurang dari dua Minggu lagi saja. Lebih baik Maura memilih lagu yang terdengar sederhana tapi bisa dia tampilkan sampai akhir dengan baik ketimbang dia menampilkan lagu yang sulit tapi ujungnya tidak dieksekusi dengan baik.

"Apa ya lagu yang harus gue tampilin? Price tag aja apa ya, ngikutin sarannya Kak Jordy. Eh tapi susah nggak sih?" Ucap Maura berbicara pada semua perabotan di kamarnya ini, sembari mengetikkan lagu tersebut di kolom pencarian. Begitu Maura berhasil menemukan lagunya, Maura pun langsung mendengarkan lagu tersebut dengan memfokuskan indera pendengarannya pada alunan suara gitar di balik suara merdu Tante Jessie J.

"Mao"

Sedang asyik-asyiknya mendengarkan lagu Tante Jessie J, tiba-tiba saja Maura dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil namanya.

Refleks Maura pun menoleh ke arah sumber suara. Suara yang terdengar tidak asing lagi ditelinganya memanggil dirinya dengan nama kesayangan keluarganya. Mengherankan bahkan terkesan menakutkan rasanya karena sungguh Maura hanya sendirian di rumah sekarang. Pun suara itu suara wanita, mustahil Demian apalagi Metta. Metta bukan tipikal orang yang akan berkunjung ke rumahnya tanpa mengabarinya terlebih dahulu.

Tidak mau semudah itu dikuasai oleh rasa parnonya, Maura memilih untuk segera beranjak dari posisinya untuk mengecek ke depan. Mana tahu tamu. Dengan membiarkan ponselnya tergeletak di atas tempat tidurnya, masih memutar lagu price tag agar rasa takut Maura sedikit berkurang. Kalau rumahnya dipenuhi nyanyian lagu, paling tidak rumahnya terasa lebih hangat tidak semencekam area pemakaman kan.

Sampai di belakang pintu rumahnya, Maura hanya terdiam di sana. Habisnya suara itu tidak lagi memanggilnya, seolah suara itu benar-benar bukan berasal dari tamu melainkan dari hantu di rumah ini.

"Bukan tamu jangan-jangan" gumam Maura. Bulu kuduknya sudah berdiri, rasanya Maura ingin menangis di detik ini juga dan merutuki kedua orangtuanya dan Demian yang meninggalkannya sendirian di rumah padahal siapa juga yang dulu mengatakan kalau ia berani tinggal sendirian di rumah? Tentu saja Maura sendiri. Bahkan dia yang meyakinkan Ayah dan Bundanya agar tidak mengkhawatirkan dirinya selama mereka bekerja.

Cklek! Cklek!

Maura berjenggit terkejut saat pintu rumahnya berusaha dibuka dari luar. Apa mungkin hantu zaman sekarang bisa melakukan hal itu?

Dengan sisa-sisa pemikiran rasional Maura yang mengatakan kalau hal tersebut tidak mungkin terjadi, Maura pun memilih untuk membuka gorden jendela kemudian mengintip lewat jendela agar dia tahu siapa sosok yang berusaha membuka pintu rumahnya.

Maura membuka mulutnya lebar-lebar saat dia melihat dua sosok yang sangat dikenalnya berdiri di beranda depan rumah dengan salah satunya yang sibuk mengotak-atik ponselnya, tentu saja untuk menghubungi penghuni rumah ini agar segera membuka pintu.

Cklek!

Tanpa basa-basi lagi Maura pun langsung membuka pintu rumahnya lebar-lebar.

"Ayah Bunda!" pekik Maura heboh bukan main sembari memeluk kedua orangtuanya dengan erat.

Maura & Darren (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang