Rasanya benar-benar canggung, bahkan semakin canggung dari pertemuan pertama. Langit menepi dari keramaian dan duduk dibangku taman ditemani lampu dan sinar bulan purnama. Mungkinkah takdir sedang memainkan perannya? Apa terlalu berlebihan menyebut ini semua sebagai takdir?
Lantas, takdir yang mana, kebahagiaan atau kesedihan? Bukankah, dua-duanya adalah takdir yang tidak bisa dihindari dan sama bentuknya, bila hari ini senang bisa jadi besok sedih dan bila hari ini sedih bisa jadi besok senang. Kepala Langit mendadak menjadi pusing.
"Langit? Ngapain disini?"
Ah, sudah terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya, ditambah dia dihadapi pertanyaan baru yang sebelumnya saja belum bisa dia jawab sendiri.
Rinjani duduk disebelahnya tanpa Langit persilahkan duduk. Rinjani juga tidak perlu izin pada Langit sebab dia berada di rumah Rinjani. Entah kenapa, wajah cantik itu tidak lagi terlihat cantik dimatanya, melainkan Langit melihat wajah kesedihan.
"Duduk aja. Kalau gue ngerokok, boleh?" Sebenarnya tadi Langit belum sempat kepikiran, tiba-tiba saja dia ingin merokok.
Rinjani mengangguk ragu. Dia belum pernah melihat Langit merokok, selama ini, dia pikir Langit bukan seorang perokok. Tapi ternyata dugaanya salah. Lagi, wajar saja kan kalau remaja merokok. Walau sebenarnya terbesit kekhawatiran dalam diri Rinjani akan kesehatan Langit.
Dari kejauhan, Senja melihat Langit sedang duduk bersama Rinjani ditaman. Dia senang, mengingat bagaimana bahagianya wajah Rinjani saat memperkenalkan Langit pada dirinya.
"Gue ke toilet dulu bentar. Lo jangan kemana-mana," Biru takut Senja hilang bila jauh darinya. Apalagi, ini bukan kawasan Senja dimana banyak anak Sastajaya berpesta.
"Iya... Gue bisa jaga diri kok, lo tenang aja. Udah, sana, nanti ngompol disini lagi," Senja terkekeh membuat Biru gemas. Tidak lama dari kepergian Biru ke toilet, Senja didatangi seorang laki-laki bertubuh tinggi.
"Lo Senja ya? Temannya Rinjani," Sakti mengulurkan tangannya. "Kenalin, gue Sakti. Musuhnya Rinjani di sekolah."
Senja menyambut uluran tangan Sakti. "Senang, bisa kenalan sama musuh Rinjani."
Senja dan Sakti tertawa. Tiba-tiba dari kejauhan Langit berlari kencang disusul dengan Rinjani yang sedikit sulit berlari karena sepatu hak tingginya. Langit meminta Sakti agar mengatarnya kerumah sakit.
"Nyokap gue masuk rumah sakit."
Mendengar kabar mengejutkan dari Langit, Sakti ikutan panik dan dia buru-buru pergi keparkiran mengambil motor. Senja tidak sempat bertanya rumah sakit mana Mama Langit dilarikan.
"Tadi kalau gak salah gue dengar, rumah sakit... Medika Pertiwi," ucap Rinjani. Tanpa berkata lagi pada Rinjani, Senja berlari mencari taksi dan menyusul Langit kerumah sakit.
Biru yang baru saja keluar dari toilet dan melihat sudah tidak ada Senja ditempat dia berdiri tadi, membuat Biru panik. Setelah mendapat penjelasan dari Rinjani, Biru langsung mengejar taksi tersebut.
Rinjani yang masih syok tidak tau harus berbuat apa. Terlebih lagi, dia merasa ada sebuah kejanggalan. Langit dan Senja baru saja bertemu, tapi kenapa Senja seolah seperti sudah mengenal Langit lama.
Kenapa Senja juga ikut khawatir?
***
Sampainya dirumah sakit Langit langsung menuju meja resepsionis, bertanya dimana Tantri berada. Di ruang melati, jawab petugas itu.
Hati Langit benar-benar tidak tenang, dia tidak ingin Mamanya kenapa-kenapa dan berharap Langit masih bisa melihat Mamanya tersenyum.
Diruangan yang serba putih terbaring lemas tubuh Tantri. Abi memejamkan matanya sambil memegangi tangan istrinya, dia berdoa agar Tantri segera membuka mata dan kembali sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...