Senin pagi Langit mengikuti upacara di lapangan. Kebiasaan buruknya kalau lagi upacara pasti dia selalu menguap lebar-lebar, lalu Pak Ibrahim akan menegurnya, menyuruh Langit untuk menutup mulut lebarnya itu.
Ketika Langit sedang menguap, dia menengok kesebelah kanan, reflek Langit menutup mulutnya mendapat tatapan maut dari Pak Ibrahim, sejak kapan guru itu sudah ada disampingnya? Memikirkannya, Langit bergidik ngeri.
Langit meluruskan pandangan, tiga orang pengibar bendera lagi menaikan bendera merah putih ditiang. Semua siswa hormat dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Matanya menangkap sosok Rinjani menggunakan kain biru bertulis PMR (Palang Merah Remaja) dibarisan berbeda. Wajahnya begitu khidmat mengikuti upacara. Semua orang tau, hanya mendengar nama Rinjani saja mereka pasti akan kagum dengan sosoknya. Jelas saja, Rinjani itu murid berprestasi, selain menjabat sebagai ketua osis Rinjani juga aktif di PMR. Tidak tehitung berapa banyak prestasi yang sudah Rinjani raih untuk sekolahnya.
Langit jadi berpikir, dari sekian banyak laki-laki yang mendekati Rinjani bahkan hampir semua laki-laki berprestasi disekolahnya, Rinjani memilih untuk menyukai dirinya yang bahkan berprestasi saja tidak. Sebenarnya Langit itu pintar, kalau tidak malas.
Pak Ibrahim melihat gerak gerik mata Langit, dan bersuara. "Jangan berharap Rinjani suka sama kamu deh, nanti kamu sedih," bisik Pak Ibrahim. Langit menatap sekilas Pak Ibrahim yang kini sedang menatap lurus.
"Sedih kenapa, Pak?" tanya Langit polos.
"Bapak berani taruhan, cewek seperti Rinjani itu pasti seleranya tinggi. Menurut pengalaman Bapak nih ya, pasti Rinjani itu nyari pasangan yang sama kerennya kayak dia. Cuma cowok beruntung yang berhasil jadi pasangannya, kurang beruntung apa lagi, Rinjani itu cantik, pintar juga. Paket lengkap, deh," ucap Pak Ibrahim panjang lebar. "Andai aja, Bapak masih muda..."
Langit awal mulanya ingin tertawa, tapi setelah mendengar kata cowok beruntung, seketika dia diam. Ditatapnya wajah Pak Ibrahim yang sedang berkhayal berharap bisa kembali menjadi anak muda seusia Langit.
Benar saja dugaannya. Ternyata yang berpikir seperti itu bukan Langit saja, melainkan Pak Ibrahim juga. Langit jadi ragu, apa benar Rinjani mencintainya. Dan, kenapa Langit yang terpilih dari sekian banyak orang.
Semakin dalam Langit pikirkan, hanya ada kebutuan yang dia temukan. Begitu, dan selalu begitu, berulang kali. Suara kerumunan yang berisik membuat Langit penasaran ada masalah apa dibarisan anak kelas 10 yang semua wajah-wajahnya terlihat panik.
Kumpulan murid PMR langsung berlari memasuki kerumunan. Rinjani mendapat laporan bahwa anak perempuan kelas 10 tiba-tiba jatuh pingsan.
Satu anggota PMR bernama Haikal mengendong dan membawa murid tersebut menuju UKS.
Di dalam UKS, Rinjani memberi laporan pada perawat kalau Aini (murid kelas 10 yang pingsan) kemungkinan besar penyebanya dikarenakan Aini belum sarapan. Rinjani dapat laporan langsung dari salah satu teman Aini.
Karena peristiwa pingsan itu, seluruh murid menjadi gaduh. Kepala sekolah memutuskan untuk kembali melanjutkan upacara sampai selesai dan menertibkan kembali murid-muridnya.
Ketika Langit melihat keatas sebelah kanan tangannya, mata Langit terasa silau melihat terangnya cahaya matahari pagi.
Rinjani itu, seperti matahari. Ditutup pakai apa pun, cahayanya selalu dapat terlihat dari sela-sela kecil tangan Langit.
Matahari itu milik semua orang. Tapi, Rinjani bukan milik semua. Dia, milik gue.
***
Langit menyumpal kedua telinganya pakai headset. Tangan Langit sibuk menggambar di sketchbook kecil yang selalu dia selipkan diantara buku pelajaran.
Langit sudah selesai mengerjakan tugas dan guru memberi kebebasan pada siswa yang selesai mengerjakan tugas dengan syarat tidak boleh keluar kelas dan berisik, kalau izin ke toilet sih gapapa.
Langit semaksimal mungkin menjawab soal matematika yang diberikan Bu Susi, walau dia sendiri tidak yakin dengan jawabannya dan tidak berharap mendapat nilai bagus.
Bu Susi bangkit dari kursi, Langit segera melepas headsetnya. Ternyata suara bel istirahat sudah berbunyi. Langit segera menutup sketbooknya dan menyimpannya di kolong meja.
Langit bertemu Sakti yang baru saja keluar kelas. Mereka berjalan menuju kantin untuk mengisi perut, perut Langit sudah keroncongan. Langit berjalan dengan tidak bersemangat seperti biasanya dan itu mengundang kecurigaan Sakti.
"Ngapa lo, bosen hidup?"
Tidak ada respon dari Langit, Sakti yang merasa kesal lantas berancang-ancang ingin memukulnya tapi tidak benar-benar dia lakukan, hanya melampiaskan kesalnya saja.
Selama dikantin tidak ada percakapan apa pun, hanya suara garpu yang beradu dengan mangkok dan bising suara penghuni kantin.
"Lo kenapa, sariawan?" tanya Langit. Dia baru saja menyelesaikan suapan terakhir mie ayamnya, lalu menyeruput es teh manis dengan nikmat.
Sakti celingak-celinguk pura-pura mencari suara tersebut. "Horor banget nih kantin. Gue denger suara, tapi gak ada wujudnya, ih merinding," ucap Sakti dramatis.
Langit menggetok kepala Sakti pakai sendok baru yang tersedia dimeja. Sakti langsung mengelus-elus kepalanya.
"Habisin tuh mie ayam, makan lama bener kayak cewek," ucap Langit. "Gue cabut duluan."
"Lah, mau kemana lo?"
Langit mengusap lehernya, dia ingin mencari Rinjani sebab sedari tadi dia tidak melihatnya dan penasaran dimana Rinjani berada sekarang. Kalau tidak UKS, ya pasti ruang osis.
Sebelum mencari keberadaan Rinjani, Langit membeli susu coklat untuk dia berikan pada Rinjani. Setidaknya Langit bisa beralasan kalau Rinjani nanya kenapa dia menemuinya.
Sakti menatap punggung Langit semakin menjauh. Sakti menyeringai kecil, "Bucin juga tuh anak."
Di UKS, ada satu siswa sedang berkutat dengan buku bacaan ditangannya, ketika Langit tanya dimana Rinjani, siswa tersebut menjawab kalau Rinjani sudah lama pergi dan sekarang ada dikelas.
Langit segera melangkahkan kakinya menuju kelas. Dari luar kelas, dia melihat Rinjani meletakan kepalanya diatas meja. Saat Langit mendekati meja Rinjani, ternyata Rinjani sedang tertidur. Langit meletakan susunya perlahan di dekat tangan Rinjani.
Langit juga ikut meletakan kepalanya. Kini, posisi Langit berhadapan dengan Rinjani, tapi wajahnya terbalik. Sepertinya Rinjani kelelahan. Bagaimana tidak, setiap hari Rinjani selalu sibuk dengan kegiatannya disekolah. Langit juga masih bingung kenapa Rinjani suka menyibukan dirinya sendiri sampai kelelahan seperti ini.
Tidak bisakah sehari saja Rinjani bersenang-senang seperti siswa lain? Setidaknya, merasakan kebebasan dari segala tugas-tugasnya disekolah.
Langit melihat ada sebuah pergerakan dari Rinjani. Dia tidak sabar menunggu kedua mata itu terbuka. Dan tidak lama kedua mata Rinjani terbuka dengan sempurna.
Langit tersenyum melihat Rinjani terkejut. Langit cuma berharap, semoga saja Rinjani tidak mendengar detak jantungnya.
Melihat Langit kedua kalinya begitu dekat, Rinjani seperti orang bodoh yang sulit untuk mengerakan seluruh tubuhnya. Rinjani merasa seolah waktu berhenti berputar.
"Dasar, cewek keras kepala."
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT | Complete √
Teen FictionNamanya Langit, seorang siswa kelas dua belas. Hobi main bola bersama kawan-kawan. Terkadang, kalau sedang berlibur, main PS seharian dikamar. Hari minggu yang seharusnya dia manfaatkan untuk main PS dirumah tertunda karena Tantri sang Mama tercint...